Photobucket

Rabu, 11 Juli 2007

Siji Loro Telu

Tiba-tiba saja saya teringat lagu yang pernah diajarkan guru TK saya. Beginilah bunyinya:

Siji, loro, telu
Tangane sedheku
Mirengake Bu Guru
Menawa didangu

Papat nuli lima
Lenggahe sing tata
Aja padha sembrana
Mundhak ora bisa.

Hehehe ... kok hitungannya cuma sampai lima ya?
Ya iya lah .... Pancasila aja juga cuma lima kok.

Selasa, 10 Juli 2007

Zoetmulder


“Wiku haji jĕnĕk aŋher iŋ śūnya” (Sum 28.11). Demikian tertulis pada batu pualam yang menghiasi makam Petrus Josephus Zoetmulder, SJ yang wafat pada tanggal 8 Juli 1995. Raja para wiku yang dengan asyik menantikan Kehampaan. Kutipan dari Kakawin Sumanasāntaka gubahan Mpu Monaguna ini memang sangat cocok dengan sosok Zoetmuder semasa hidupnya. Hampir seluruh waktunya dihabiskannya untuk memahami isi hati orang Jawa dengan berkelana di “Hutan Jawa” yang hampir tak pernah disentuh oleh orang Jawa sendiri. Salah satu sudut ruang di sebelah Timur Gereja Katolik Kumetiran yang kini tak berbekas lagi telah menjadi saksi bisu ketekunannya menjelajahi “hutan lebat” itu dalam rangka melaksanakan tugas perutusannya sebagai seorang Yesuit. Sebuah tugas yang diyakininya sebagai sarana “njembarake Kraton Dalem” (Suratmin, 1983/1984:9). Tak heran jika Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada pun memberinya gelar “resi” (Sutrisno, et al., 1991:v).

Zoetmulder yang dilahirkan pada tanggal 29 Januari 1906 di Utrecht ini memiliki nama samaran “Artati” (manis). Nama ini mengandung makna yang sangat dalam, menunjuk pada pribadi yang dianugerahi bakat istimewa untuk meraba kehalusan, mencicipi kemanisan, merasakan keindahan, mendalami relung-relung budaya, serta menyelami rahasia manusia dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya (Suhatno, 1979/1980:4). Setidaknya, itulah yang hendak dibuktikan Zoetmuder melalui karya-karyanya.

Dengan disertasinya Pantheïsme en Monisme in de Javaansche Soeloek-Litteratuur (1935) yang diterjemahkan oleh Dick Hartoko (1990) menjadi Manunggaling Kawula Gusti: Pantheïsme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, Zoetmulder ingin memberikan sumbangan kecil guna memahami bangsa yang menghasilkan sastra ini. Menurutnya, lewat sastra religius inilah suatu bangsa membuka isi hatinya. Dari sinilah Zoetmulder mulai memahami isi hati orang Jawa.

De Taal van het Ādiparwa (1950) merupakan bukti komitmen awal Zoetmulder dalam menggeluti bahasa dan sastra Jawa Kuna. Buku yang bersama I.R. Poedjawijatna disadurnya ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Bahasa Parwa: Tata Bahasa Djawa Kuno I dan II (1954) itu memuat tatabahasa Jawa Kuna berdasarkan bahasa yang termuat dalam parwa-parwa. Buku ini diharapkan dapat mendorong minat peneliti untuk menelaah karya sastra Jawa Kuna supaya pemahaman atas kebudayaan di Indonesia makin lama makin sempurna.

Untuk membantu pemahaman terhadap tatabahasa Jawa Kuna, Zoetmulder menerbitkan Sĕkar Sumawur I: Dewamānusa-rāksasādi (1958) dan Sĕkar Sumawur II: Korawapāndawacarita (1963). Kedua bunga rampai yang memuat kutipan-kutipan dari beberapa parwa ini dipakainya sebagai alat untuk mengajar baasa Jawa Kuna.

Rasa cinta dan penghayatan yang mendalam terhadap dunia Jawa Kuna pun telah dibuktikannya dengan diterbitkannya Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literature (1974) yang lagi-lagi oleh Dick Hartoko diterjemahkan menjadi Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983). Buku ini dapat dikatakan merupakan ensiklopedi hasil-hasil penelitian di bidang Jawa Kuna dan sebagian Jawa Pertengahan.

Karya monumentalnya yang tidak akan mungkin dilupakan adalah Old Javanese – English Dictionary (1982) yang disusunnya bersama S.O. Robson selama kurang lebih 30 tahun. Kamus ini kemudian diterjemahkan oleh Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna menjadi Kamus Jawa Kuna – Indonesia (1995). Sumber yang dipakai dalam penyusunan kamus ini tak lain adalah Pustaka Jawa Kunanya yang sekarang ditempatkan di Perpustakaan Universitas Sanata Dharma dengan nama Pustaka Artati.

Jumat, 06 Juli 2007

Penyintas (Dari berbagai sumber)

Kemarin seorang teman bertanya kepada saya apa arti penyintas dan dari mana asalnya. Terus terang, saya juga baru dengar dari teman saya itu. "Barangkali itu berasal dari kata "sintas"," begitu saya menjawab pertanyaannya. Lalu iseng-iseng saya buka Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (yang merah). Ternyata memang ada kata "sintas" di dalamnya, tetapi kata "penyintas" tidak ada. Dalam kamus itu disebutkan bahwa "sintas" termasuk kata sifat, artinya 'terus bertahan hidup' atau 'mampu mempertahankan keberadaannya'. Kalau begitu, " penyintas" mestinya berarti "alat untuk mempertahankan hidup" atau "orang yang suka mempertahankan hidup". Serupa dengan kata "pembersih" dan "pemarah".

Ternyata analogi saya meleset. "Penyintas menurut beberapa orang dalam blognya ternyata berarti 'orang yang selamat dari musibah'. Misalnya ada judul "Mati Ketawa ala Penyintas Gempa" (Purnawan Kristanto dalam "Sabda Space"), "Kesaksian Penyintas Jugun Ianfu" (Esther dalam "Esutoru"), dan "Penyintas Topan Durian Mulai Kuburkan Korban Tewas (Kapanlagi.com). "Penyintas" dalam judul-judul tersebut memang bisa diartikan sebagai 'orang yang selamat dari gempa, Jugun Ianfu, dan Topan Durian'.
Akan tetapi, bisakan "penyintas" dalam "Asa Baru Perempuan Penyintas" (Veronica Kusuma dalam Kompas, 4 Desember 2006) diartikan sebagai 'orang yang selamat dari musibah'? Hehehe ... ternyata Veronica punya pengertian lain, "penyintas" itu 'orang yang ditinggalkan'. Wah, makin bingunglah saya.

Dalam kebingungan itu, saya temukan artikel Ayu Utami dalam Koran Sindo, 20 Mei 2007. Judulnya "KODOK NGOREK, Sintas". Katanya, "penyintas" muncul pertama kali pada tahun 2005. Baik di yahoo maupun di google belum banyak dipakai. Di yahoo hanya 200-an, di google ada 400-an. Hebatnya, kata ini muncul bukan dari kalangan ahli sastra ataupun ahli linguistik. Kata ini muncul dari para pegiat alias aktivis LSM dalam konteks bencana. Para pegiat ini memerlukan kata yang lebih pendek untuk menerjemahkan kata "survivor". Mereka paling tidak harus menggunakan tiga patah kata, yakni: "korban yang selamat" (tentu saja dari musibah). Kita tahu, betapa banyak musibah alias bencana yang terjadi tiga tahun terakhir ini. Bayangkan saja kalau setiap kali kita mesti bilang atau mengetik kata itu. Pegel lah ya... Karenanya, mereka butuh "penyintas". Begitulah ...

Dalam perkembangannya, kata ini lantas diinterpretasikan menurut kebutuhan. Tapi masalahnya adalah dari manakah asal kata "sintas" yang baru muncul di Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga itu?

Rabu, 04 Juli 2007

Fotoku


Ini fotoku di masa lalu ketika aku masih kuliah. Kira-kira tahun 1993.
Foto ini dibuat oleh suamiku yang waktu itu masih jadi sahabat. Lokasinya di dekat kolam di dalam rumahku.