Photobucket

Selasa, 27 November 2007

Sarrasine-nya Barthes

KODE KULTURAL ATAU REFERENSIAL
DALAM
SARRASINE
MENURUT ROLAND BARTHES

Dalam bukunya yang berjudul S/Z, Roland Barthes mengupas sebuah teks pendek Sarrasine karya Honore de Balzac. Roland Barthes memilih karya Balzac tersebut karena diilhami sebuah artikel karya Jean Reboul berjudul “Sarrasine ou la castration personnifiee” dalam Cahiers pour l’Analyse. Di samping itu Roland Barthes juga ingin membuat analisis yang lengkap tentang sebuah teks pendek.

Menurut Raman Selden dan Peter Widdowson (1993:133-136) S/Z karya Roland Barthes tahun 1970 ini merupakan pelaksanaan teori post-strukturalisme. Barthes memulai karyanya dengan menyinggung sia-sianya ambisi para naratolog strukturalis yang mencoba melihat seluruh cerita dunia dalam suatu struktur tunggal. Menurutnya, usaha untuk menemukan struktur itu sia-sia karena masing-masing teks memiliki perbedaan yang merupakan akibat tekstualitasnya sendiri. Masing-masing teks dengan cara yang berbeda-beda mengacu kembali pada apa “yang tertulis (the already written)”.

Roland Barthes mengungkapkan ada dua tipe teks, yaitu teks “readerly” (lisible) dan teks “writerly” (scriptible). Teks readerly menawarkan makna tetap untuk pembaca karena teksnya “tertutup” dengan makna terbatas, sedangkan teks writerly memberi kesempatan kepada pembaca untuk memproduksi makna. Teks readerly memungkinkan pembaca menjadi konsumen, sedangkan teks writerly memungkinkan pembaca menjadi produsen. Dengan kata lain, teks readerly dibuat untuk dikonsumsi (dibaca), sedangkan teks writerly untuk diproduksi (ditulis).

Menurut Roland Barthes, teks yang ideal adalah sebuah galaksi penanda, bukan struktur petanda. Teks ideal tidak mempunyai struktur awal. Seseorang bisa memasukinya lewat ribuan pintu masuk dan tak satu pun yang dapat dinyatakan dengan sewenang-wenang sebagai pintu masuk utama.

Dalam analisisnya, Roland Barthes membagi S/Z menjadi 561 lexia, yaitu fragmen-fragmen berupa unit-unit bacaan yang mengandung penanda pemandu. Lexia ini bisa terdiri atas beberapa kata, bisa juga beberapa kalimat. Lexia-lexia ini merupakan ruangan terbaik yang me-mungkinkan kita amati maknanya. Dimensinya yang ditentukan dan diperkirakan secara empiris, akan sangat tergantung pada kepadatan konotasi yang bervariasi menurut momen-momen dalam teks itu. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa setiap lexia harus memiliki paling banyak tiga atau empat arti. Teks itu, dalam kumpulannya, serupa langit yang rata dan halus, dalam, tanpa tepi dan tanpa penunjuk; sementara, untuk mengetahui perpindahan makna dan menyingkap kode-kode, sang juru ulas melacaknya melalui wilayah-wilayah baca dalam teks itu, bagaikan peramal yang menggambar segi empat pada langit itu dengan ujung tongkatnya sebagai tempat meminta saran. Lexia hanyalah pembungkus sebuah isi semantis, garis puncak dari teks plural, yang disusun seperti sebuah bingkai makna-makna yang mungkin di bawah aliran wacana yang terus-menerus. Oleh karena itu, lexia dan unit-unitnya akan membentuk semacam polihedron yang disanding oleh kata, kelompok kata, kalimat, ataupun paragraf.

Ada lima kode yang dapat dipakai untuk “membaca” lexia-lexia yang terdapat dalam novel pendek karya Balzac ini. Setiap lexia akan termasuk dalam salah satu kode itu. Kelima kode itu adalah kode hermeneutik (HER), kode semik (SEM), kode simbolik (SYM), kode proairetik (ACT), dan kode kultural (REF). Masing-masing kode mempunyai kepentingan yang berbeda. Tidak ada satu kode pun yang lebih penting dari yang lain. Semua kode penting adanya.

Kode hermeneutik menyangkut enigma (teka-teki) manakala wacana dimulai. Tentang siapa, apa yang sedang terjadi, bagaimana hubungan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain, bagaimana suatu tujuan akan dicapai dan berbagai pertanyaan semacam itu akan muncul bila kita membaca sebuah cerita. Di bawah kode hermeneutik kita akan mendaftar berbagai istilah formal yang dengannya sebuah enigma akan dapat dibeda-bedakan, disarankan, dirumuskan, ditahan dalam ketegangan, dan akhirnya disingkap. Istilah-istilah tersebut tidak akan selalu muncul tetapi akan sering diulang dalam susunan yang tidak tetap. Kata Sarrasine pasti mendatangkan berbagai pertanyaan dalam benak kita. Apa sih Sarrasine itu? Kata benda? Sesuatu? Sebuah nama? Seorang laki-laki? Atau seorang perempuan? Pertanyaan semacam ini akan tidak terjawab sampai menjelang akhir cerita yang mengungkapkan biografi seorang pemahat bernama Sarrasine. Unit yang berfungsi mengungkapkan sebuah pertanyaan dalam berbagai cara, respons-responsnya, variasi peristiwa-peristiwa yang dapat merumuskan pertanyaan sekaligus menunda jawabannya, atau bahkan yang menyusunnya dalam sebuah enigma dan mengarah kepada pemecahannya, dapat digolongkan ke dalam kode hermeneutik. Dalam Sarrasine enigma juga berkisar pada tokoh La Zambinella. Sebelum pertanyaan “siapakah dia” akhirnya terjawab - bahwa dia adalah seorang kastrato yang berdandan seperti seorang wanita -, wacana diperpanjang dengan penundaan-penundaan jawaban, seperti dia adalah seorang wanita (jawaban yang berupa jebakan), makhluk dari luar alam (jawaban yang penuh ambiguitas), atau tak seorang pun tahu (jawaban yang macet).

Kode semik menyangkut konotasi-konotasi yang sering dimunculkan dalam pelukisan watak (penokohan) dan deskripsi. Mengenai sem, kita hanya menunjukkan, tanpa mencoba, baik menghubungkannya dengan seorang tokoh (atau sebuah tempat atau sebuah objek), maupun menyusunnya dalam sebuah urutan sehingga membentuk sebuah kelompok tematik tunggal. Kita membiarkan sem-sem itu dalam ketidakstabilan, dalam penyebaran, dalam karakteristik “motes of dust” (?), ataupun dalam kerdipan-kerdipan makna. Kata Sarrasine juga mengandung konotasi tambahan, femininitas, yang akan tampak jelas bagi orang yang berbahasa ibu bahasa Prancis. Bahasa Prancis akan secara otomatis memberi akhiran e sebagai penanda linguistik khusus yang bersifat perempuan, khususnya dalam hal nama diri yang mempunyai bentuk maskulin (Sarrazin) yang ada dalam onomastik-onomastik Prancis. Femininitas yang dikonotasikan ini merupakan penanda yang akan muncul di beberapa tempat di dalam teks. Femininitas merupakan unsur yang berpindah-pindah yang dapat dikombinasikan dengan unsur-unsur lain yang hampir sama untuk menciptakan tokoh-tokoh, ambiansi (?), bentuk-bentuk, dan simbol-simbol. Sebuah cerita awal tentang La Zambinella, misalnya, mencetuskan sem-sem femininitas, kekayaan dan kepucatan (seperti hantu).

Kode simbolik menyangkut polaritas dan antitesis yang membuahkan multivalensi dan reversibilitas. Tugas utama kode ini adalah selalu menunjukkan bahwa bidang ini dapat dimasuki dari berbagai sudut sehingga membuat persoalan menjadi mendalam dan bersifat rahasia. Kode ini menandai pola-pola hubungan seksual dan psikoanalitis orang-orang yang mungkin masuk. Sebagai contoh, Sarrasine dihadirkan dalam hubungan simbolik antara bapak dan anak. Sarrasine adalah anak seorang ahli hukum. Ketidakhadiran ibu dalam cerita ini sangatlah penting. Ketika si anak (Sarrasine) memutuskan untuk menjadi seniman, dia tidak lagi disayangi ayahnya, bahkan dikutuk. Dari sini tampak adanya simbolik antitesis. Pengkodean simbolik naratif ini kemudian berkembang ketika kita membaca kisah si pemahat ramah, Bouchardon, yang menempati posisi ibu yang tidak ada sehingga membuahkan kerukunan antara bapak dan anak.

Kode proairetik atau kode tindakan-tidakan menyangkut tindakan dan perilaku dasar logis yang bertahap. Tindakan-tindakan ini dapat dimasukkan dalam beragam urutan yang hanya dapat ditunjukkan dengan cara menyusunnya karena rangkaian proairetik tidak pernah lebih dari hasil kecerdasan membaca: siapa pun yang membaca teks menghimpun sejumlah data di bawah beberapa judul tindakan yang umum, dan judul ini mewujudkan rangkaian itu. Rangkaian itu ada ketika diberi nama dan karena dapat diberi nama. Rangkaian itu terbentang ketika proses penamaan berlangsung, ketika sebuah judul dicari atau ditetapkan. Oleh karena itu, dasarnya lebih empiris daripada rasional, dan tidak ada gunanya berusaha memaksanya menjadi susunan yang beraturan. Mengindikasi-kan rangkaian tersebut secara eksternal dan internal akan cukup untuk memperlihatkan beragam makna yang ada di dalamnya. Roland Barthes memberi tanda pada serangkaian lexia 95 sampai dengan 101: teman wanita si narator menyentuh kastrato tua dan bereaksi dengan mengeluarkan keringat dingin; ketika saudara-saudaranya bereaksi dengan alarm, dia menuju ke ruang sebelah dan melemparkan diri ke atas dipan dengan ketakutan. Barthes menandai rangkaian itu sebagai lima tingkatan kode tindakan “menyentuh”: (1) sentuhan, (2) reaksi, (3) reaksi umum, (4) melarikan diri, (5) bersembunyi. Tahap-tahap tersebut membentuk sebuah rangkaian yang membuat pembaca mengoperasikan kode itu secara tidak sadar, menganggapnya sebagai hal yang alami atau realistis.

Terakhir, kode kultural atau budaya adalah acuan-acuan terhadap ilmu pengetahuan tertentu atau kumpulan ilmu pengetahuan. Kode kultural ini juga sering disebut sebagai kode referensial. Untuk mendeskripsikan perhatian terhadap hal itu, Barthes hanya menunjukkan jenis ilmu pengetahuan yang diacu (fisik, psikologis, medis, fisiologis, sastra, sejarah, dan sebagainya) tanpa melangkah lebih jauh, misalnya menyusun kembali budaya yang diungkapkan.

Apa gunanya mencoba merekonstruksi sebuah kode kultural karena aturan-aturan yang mengaturnya tak pernah lebih dari sekadar sebuah kemungkinan? Dan lagi, tempat sebuah kode masa (waktu) belum membentuk sejenis bacaan ilmiah populer yang pada akhirnya akan sangat berguna untuk dideskripsikan, misalnya: apa yang kita ketahui “secara alami” tentang seni, tentang orang muda, dan sebagainya. Bila kita mengumpulkan semua ilmu pengetahuan dan semua vulgarisme semacam itu, kita akan menciptakan monster, dan monster itu adalah ideologi. Sebagai bagian dari ideologi, kode kultural membalikkan asal mula kelasnya (skolastik dan sosial) menjadi sebuah referensi alami, menjadi sebuah pernyataan peribahasa. Seperti bahasa didaktis dan bahasa politis, yang juga mempermasalahkan pengulangan pengucapan, peribahasa kultural mengganggu, membuat gusar pembaca yang tidak tahan. Teks Balzacian pun menjadi beku karena hal itu. Karena kode kulturalnya, teks itu membosankan, memuakkan.

Lexia 176 berbunyi: “For a long time, the lengthy and laborious studies demanded by sculpture” (‘Untuk waktu yang lama, pelajaran-pelajaran yang panjang lebar dan makan tenaga dituntut oleh seni pahat’). Menurut Barthes, lexia ini mengandung kode kultural, yaitu kode seni. Magang sebagai pemahat merupakan pekerjaan yang sulit. Memahat dikatakan bergulat dengan bahan, bukan dengan representasi, sama halnya dengan melukis. Memahat adalah seni demiturgis, seni yang menggali bukan yang menutupi, seni sang tangan yang memegang.

Lexia 178 berbunyi: “which was perhaps as predisposed to them as Michelangelo’s had been” (‘yang mungkin mempengaruhi mereka sebagaimana terjadi pada Michelangelo’). Oleh Barthes, lexia ini dikatakan mengandung kode kultural, sejarah seni, tipologi psikologis seniman besar. Jika Sarrasine itu seorang musisi dan Balzac dilahirkan 50 tahun kemudian, nama yang muncul tentunya Beethoven; sedangkan dalam sastra, mungkin nama Balzac sendiri yang muncul.

Ujaran-ujaran kode kultural merupakan peribahasa yang implisit. Ujaran-ujaran itu tertulis dalam model obligatif yang menguraikan kehendak umum, hukum suatu masyarakat, yang menyebabkan proposisi yang dihubungkan tidak dapat dihapus. Lebih jauh lagi: karena sebuah peribahasa, pepatah, dalil, yang mendukung kode kultural dapat ditemukan, transformasi gaya “membuktikan” kode itu, memperlihatkan strukturnya, mengungkapkan perspektif ideologisnya. Peribahasa mempunyai struktur sintaktis sangat khusus dan bentuk yang arkhais.
Sebagai ringkasan pengetahuan umum, kode kultural menyediakan silogisme dalam cerita dengan premis mayornya yang selalu didasarkan atas opini umum, pada sebuah kebenaran endoxal, pendeknya, pada wacana yang lain-lain. Sarrasine, yang masih tetap gigih melakukanpembuktian kepada dirinya sendiri tentang femininitas La Zambinella, akan mati karena sebuah alasan yang tidak akurat dan tidak meyakinkan: dari wacana lain, dari alasan-alasan yang berlebihan. Namun, sebuah cacat dalam wacana inilah yang membunuhnya: semua kude kultural yang diambil dari kutipan ke kutipan, bersama-sama membentuk sebuah versi miniatur pengetahuan ensiklopedik, sebuah farrago. Farrago ini membentuk realitas sehari-hari dalam hubungannya dengan subjek yang mengadaptasikan dirinya sendiri. Sebuah cacat dalam ensiklopedia ini, sebuah lubang dalam tenunan budaya, dapat mengakibatkan kematian. Akibat ketidaktahuannya terhadap kode adat istiadat Kepausan, Sarrasine mati dalam kesenjangan pengetahuan, karena kekosongan dalam wacana lain. Penting bahwa wacana ini akhirnya berhasil menggapai Sarrasine melalui suara seorang pegawai istana “realistik”, seorang juru bicara untuk pengetahuan vital yang mendasari “realitas” itu. Yang dengan kasar dikontraskan dengan konstruksi simbol yang kompleks, yang berhak memenangkannya, adalah kebenaran sosial, kode institusi-prinsip realitas.

Kode-kode kultural yang telah banyak dirujuk oleh teks Sarrasinean ini juga akan dimatikan atau sekurang-kurangnya akan beremigrasi ke teks-teks yang lain. Sebenarnya, kutipan-kutipan tersebut diramu dari tubuh pengetahuan, dari sebuah buku anonim yang pasti paling baik modelnya, yaitu Buku Pedoman Sekolah. Karena, di satu pihak, Buku yang terdahulu adalah buku ilmu pengetahuan mengenai observasi empiris dan buku kebijaksanaan, dan di pihak lain, bahan didaktik yang bergerak dalam teks pada umumnya berkorespondensi dengan seperangkat buku pegangan sebanyak tujuh atau delapan yang dapat dijangkau oleh seorang mahasiswa yang rajin dalam sistem pendidikan borjuis klasik, seperti: Sejarah Sastra (Byron, The Thousand and One Nights, Ann Radcliffe, Homer), Sejarah Seni (Michelangelo, Raphael, the Greek miracle), Sejarah Eropa (the age of Louis XV), Garis Besar Obat-obatan Praktis (penyakit, penyembuhan, usia lanjut, dst.), Risalah Psikologi (erotik, etnik, dst.), Etika (Kristen atau Stoika: tema-tema terjemahan dari bahasa Latin), Logika (untuk silogisme), Retorika, dan sebuah antologi pepatah dan peribahasa tentang kehidupan, kematian, penderitaan, cinta, wanita, pria, dan sebagainya. Meskipun seluruhnya berasal dari buku-buku, kode-kode kultural ini, melalui karakteristik ideologi borjuis yang berputar, yang mengubah budaya ke dalam alam, muncul memantapkan realitas, “Kehidupan”. Lalu, “Kehidupan” di dalam teks klasik menjadi suatu campuran opini umum yang menjemukan, menjadi suatu lapisan yang menutupi gagasan-gagasan yang diterima. Sebenarnya, di dalam kode-kode kultural ini, teks klasik telah ketinggalan zaman dalam karya Balzac, esensi yang di dalam karya Balzac yang tidak dapat ditulis kembali, dikonsentrasikan. Tentu saja, apa yang ketinggalan zaman bukanlah suatu kerusakan wujud ataupun ketidakmampuan pribadi pengarang untuk menjangkau kesempatan-kesempatan dalam karyanya supaya menjadi modern, tetapi lebih merupakan suatu kondisi Sastra Penuh yang fatal, yang dijemput ajalnya oleg bala tentara stereotip yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, suatu kritik terhadap referensi-referensi belum pernah dapat dipertahankan kecuali melalui tipu daya. Sebenarnya, kode budaya menempati posisi yang sama dengan kebodohan: bagaimana mungkin sebuah kode menjadi lebih unggul daripada yang lain tanpa dengan kasar menutup pluralitas kode.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kode kultural atau kode budaya dalam Sarrasine merupakan acuan-acuan terhadap ilmu pengetahuan tertentu yang berwujud nama seorang tokoh, peribahasa, pepatah, dalil, dan sebagainya. Dalam uraiannya tentang kode kultural ini Roland Barthes hanya menunjukkan jenis ilmu pengetahuan yang diacu (misalnya: fisik, psikologis, medis, fisiologis, sastra, sejarah, dan sebagainya) tanpa melangkah lebih jauh, misalnya menyusun kembali budaya yang diungkapkan.

Ilmu pengetahuan yang dirujuk dalam kode kultural ini adalah buku pegangan sebanyak tujuh atau delapan yang biasanya dapat dijangkau oleh seorang mahasiswa, yaitu: Sejarah Sastra, Sejarah Seni, Sejarah Eropa, Garis Besar Obat-obatan Praktis, Etika, Logika, Retorika, serta antologi pepatah dan peribahasa tentang kehidupan, kematian, penderitaan, cinta, wanita, pria, dan sebagainya.

Mrican, 15 Januari 1999

Jumat, 23 November 2007

"Impian Wongso Mul"

“IMPIAN WONGSO MUL”
KARYA Y.B. MANGUNWIJAYA
(SEBUAH TINJAUAN SOSIOLOGI HEGEMONI)

Impian Wongso Mul yang dimuat dalam KOMPAS Minggu, tanggal 30 Agustus 1998 merupakan salah satu cerpen Y.B. Mangunwijaya yang tergolong baru. Cerpen ini kiranya merupakan salah satu reaksi Mangunwijaya terhadap peristiwa-peristiwa heboh yang belakangan ini terjadi di negara kita yang konon adil, makmur, merata, dan sejahtera itu. Impian Wongso Mul mengisahkan Bapak Wongsomulio yang menjadi Kepala Kanwil GADISBINAL (Lembaga Distribusi Sembilan (bahan pokok) Nasional) dengan impiannya versus Mas As, seorang Arsitek Harapan Muda lulusan UGM, yang dikehendaki menjadi menantunya. Dilihat dari judul, nama tokoh-tokohnya, dan ungkapan-ungkapan khas yang dipakai, cerpen Impian Wongso Mul jelas bernuansa Jawa. Misalnya saja nama anak perempuan Wongso Mul, Dewi Retnaningtyas Kusuma Arum, lalu istilah-istilah seperti inyong (nyong), garwo (sigaran nyowo), serta kata “Saodara” dan “belio” yang sengaja ditulis demikian untuk menunjukkan aksen Jawa yang “medhok”. Dengan demikian, dari cerpen ini dapat dikaji beberapa pandangan atau ideologi-ideologi tertentu yang berbau Jawa atau bahkan khas Jawa. Baiklah, mari kita simak ringkasan ceritanya.

Alkisah, Wongsomulio alias Wongso Mul atau si Mul mengundang As untuk makan malam bersama di rumahnya. Dengan alasan krismon dan sang lidah yang tidak bisa diajak kompromi lagi, As terpaksa memenuhi undangan itu. Pada saat makan malam bersama itulah Wongso Mul mengemukakan keinginannya untuk membongkar rumahnya yang dianggapnya sudah ketinggalan zaman lalu menggantinya dengan gedung baru yang sesuai dengan selera post-modernisme (pos-mo). Tanpa basa-basi sang arsitek yang memang sedang krisis order itu segera menyanggupinya. Namun, malang bagi sang arsitek, ada satu syarat yang sangat mustahil dipenuhi, yakni: pondasinya harus menggunakan pondasi-pondasi yang sudah ada, tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. Sang arsitek yang sudah terlanjur menyanggupi order itu pun pusing tujuh keliling, memikirkan ketololan Wongso Mul dan kredibilitasnya sebagai arsitek lulusan UGM. Bagaimana mungkin membangun gedung pos-mo dengan pondasi pre-mo. Maksud hati ingin berontak, apa daya sang suara tak kunjung keluar, hanya mendekam lunglai dalam hati.

Kisah yang tampaknya sangat sederhana itu menjadi tidak sederhana lagi karena dikemas dalam bahasa yang cukup kompleks dengan gaya khas Mangunwijayan: kalimatnya panjang-panjang, sarat dengan ide, serta menggunakan istilah-istilah lokal maupun asing. Berikut ini kutipan kalimat terpanjang yang ada dalam cerpen itu.

Bukan, bukan pertama dan terutama karena belio tokoh korupsi kolusi dan nepotisme yang sudah membudaya di seluruh lapisan masyarakat, termasuk diri inyong juga, atau karena jas safarinya sekitar satu juta lebih harganya, kacamata bingkai emasnya membuat mukanya lebih angkuh lagi, apalagi karena rambutnya seharusnya tidak hitam legam tetapi teknologis diapgred tidak alamiah itu; komplet, kumis seperti mandor kolonial yang pernah nyong lihat dalam foto album “Koloniale Politiek in Nederlandsch Oost-indie”.

Dalam satu kalimat panjang itu setidak-tidaknya terdapat sembilan hal yang ingin disampaikannya, sebagai berikut.

  • Beliau, dalam hal ini Wongso Mul, adalah tokoh korupsi, kolusi, dan nepotisme.
  • Korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah membudaya di seluruh lapisan masyarakat, termasuk dalam diri sang arsitek.
  • Beliau adalah tokoh yang sangat kaya, terbukti dengan harga jas safarinya yang satu juta dan bingkai kacamatanya yang dari emas itu.
  • Beliau adalah orang yang angkuh.
  • Rambut beliau sebenarnya sudah beruban.
  • Beliau sudah mengenal semir rambut sehingga merasa perlu menyemir rambutnya yang sudah beruban itu.
  • Semir rambut membuat rambut menjadi tidak alamiah lagi.
  • Kumis beliau tebal sekali.
  • Sang arsitek pernah melihat album foto “Koloniale Politiek in Nederlandsch Oost-indie”.

Dengan demikian, jika dikaji secara sosiologis, khususnya dengan kacamata hegemoni, akan tampak ideologi-ideologi tertentu yang terkandung dalam cerpen itu. Sebelum berbicara lebih jauh tentang ideologi-ideologi yang terdapat dalam cerpen itu, ada baiknya kita bicarakan dulu apa dan bagaimana hegemoni itu.

Istilah hegemoni dipopulerkan oleh Antonio Gramsci, seorang intelektual Italia, dalam sebuah analisis tajam untuk mengkritik pandangan Marxisme (Ariel Heryanto, 1997: 85). Gramsci menekankan perlunya reinterpretasi fundamental ajaran-ajaran dasar Marx (Heru Hendarto, 1993:72).

Secara literal, hegemoni berarti “kepemimpinan” yang oleh para komentator politik lebih sering digunakan untuk menunjuk kepada pengertian dominasi (Faruk, 1994:62). Menurut Gramsci dominasi tidak sama dengan hegemoni. Dominasi adalah kekuasaan yang dicapai hanya dengan mengandalkan kekuatan memaksa (Ariel Heryanto, 1997:85). Sementara, hegemoni lebih merupakan suatu kemenangan yang diperoleh melalui suatu konsensus atau kesepakatan (Heru Hendarto, 1993:74). Hegemoni dapat terbentuk lewat berbagai cara dan di berbagai wilayah kehidupan sehari-hari yang tidak bersifat politis, seperti: kebudayaan, kesenian, keagamaan, dan keluarga. Adapun fungsi hegemoni adalah untuk melestarikan kekuasaan serta mengabsahkan penguasa dan segala ketimpangan sosial yang diakibatkan oleh kekuasaan itu. Hegemoni memberi toleransi terhadap perbedaan, bahkan perlawanan, sampai batas tertentu, sejauh dalam kendali sang penguasa. Perlawanan dapat diawali dengan hegemoni tandingan yang dibangun dengan cara yang sama. (Ariel Heryanto, 1997:85). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang terpenting dalam konsep hegemoni adalah konsensus atau kesepakatan.

Dikatakan ada tiga tingkatan hegemoni, sebagai berikut (Heru Hendarto, 1993:82-84).

  1. Hegemoni integral, ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh.
  2. Hegemoni yang merosot (decadent hegemony), ditandai dengan adanya potensi desintegrasi yang muncul dalam konflik-konflik tersembunyi “di bawah permukaan kenyataan sosial”. Mentalitas massa tidak sungguh-sungguh selaras dengan pemikiran dominan subjek hegemoni.
  3. Hegemoni minimun (minimal hegemony) merupakan bentuk hegemoni yang paling rendah, ditandai dengan keengganan elite politis, ekonomis, dan intelektual terhadap setiap campur tangan massa dalam hidup bernegara. Hegemoni hanya bersandar pada kesatuan ideologis tiga kelompok itu tanpa menyesuaikan diri dengan kepentingan dan aspirasi kelompok lain dalam masyarakat.

Teori Hegemoni Gramsci ini telah mengilhami Raymond Williams dalam studi kesusastraan. Kesusastraan tidak lagi dipandang sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh masyarakat kelas sebagai infrastrukturnya, tetapi sebagai kekuatan sosial, politik, dan kultural yang berdiri sendiri dan mempunyai sistem sendiri. Williams menekankan bahwa hegemoni merupakan suatu proses, bukan suatu bentuk dominasi yang ada secara pasif, melainkan sesuatu yang harus terus-menerus diperbarui, diciptakan kembali, dipertahankan, dan dimodifikasi. Dengan demikian, hegemoni menganalisis proses kultural dalam peranannya yang aktif atau konstitutif serta berurusan dengan bentuk-bentuk kultural oposisional dan alternatif yang mungkin menentang tatanan dominan. Williams membuat garis besar perbedaan ciri-ciri kebudayaan yang residual, yang dominan, dan yang bangkit, dalam proses kultural secara keseluruhan. Kebudayaan yang residual mengacu kepada pengalaman, makna-makna, dan nilai-nilai yang dibentuk pada masa lalu yang terus hidup dan dipraktekkan pada masa kini, meskipun bukan merupakan bagian dari kebudayaan yang dominan. Kebudayaan yang bangkit adalah praktek-praktek, makna-makna, dan nilai-nilai baru, hubungan dan jenis-jenis hubungan baru yang merupakan alternatif bagi kebudayaan yang dominan dan bertentangan dengannya. Kebudayaan yang dominan bersifat selektif, cenderung memarginalisasikan dan menekan seluruh praktek yang lain (Faruk, 1994:78-80).

Cerpen Impian Wongso Mul dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi kisah tentang asal-usul Wongso Mul dan Sang Arsitek serta hubungan yang terjadi di antara mereka. Bagian kedua mengisahkan peristiwa makan malam bersama di rumah Wongso Mul. Dalam jamuan makan malam inilah Wongso Mul mengemukakan impiannya yang merupakan tragedi bagi Sang Arsitek.

Jika dicermati, cerpen itu mengandung beberapa ide (gagasan), sebagai berikut.

  • Krismon sangat berpengaruh bagi kehidupan ekonomi warga klas menengah ke bawah tetapi tidak demikian halnya bagi warga klas atas yang punya jabatan tinggi.
    “Andai saja tidak ada krismon, sungguh inyong ogah, tidak akan memenuhi undangan Bapak yang terhormat ....”

    “Jadi Saodara pasti dapat merasakan, betapa mendalam derita kami yang diakibatkan situasi krismon, yang membuat sulit untuk solider dengan sang lidah yang kini tanpa henti membalas kami, main demo juga.”

    “... Pendek cerita, dalam situasi terjepit krimon ini, si Arsitek tingkat RSS bagaikan kelinci menghadap pemburunya, ....”

    “... Kami (Si Arsitek, Pak Wongso Mul beserta istri dan anaknya) mengelilingi meja makan super deluxe. Penuh hidangan antikrismon, subversif melawan anjuran Pak Habibie ....
  • Korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah demikian membudaya di seluruh lapisan masyarakat.
    “Bukan, bukan pertama dan terutama karena belio tokoh korupsi kolusi dan mepotisme yang sudah membudaya di seluruh lapisan masyarakat, termasuk diri inyong juga, ....“
  • Penampilan seseorang sangat mempengaruhi penilaian orang lain terhadapnya, sehingga sebisa mungkin seseorang harus mengikuti selera masyarakat yang sedang berlaku.
    “... tepatnya menaiki, mobil VW Kodok, nah, siapa yang tidak akan tergiur memilih dan memancing sopir VW Kodok menjadi menantunya. Itulah itulah.”

    “... Nak, saya ingin rumah ini dibongkar total lalu didirikan gedung baru yang memenuhi selera posmo seperti di sekian real estate di Jakarta itu.”
  • Kedudukan seseorang dalam masyarakat pun mempengaruhi penampilan seseorang.
    “... Memang kusen-kusen masih jati, ya cuma jati muda, tetapi kuda-kuda serta segala konstruksi pokoknya masih kayu Kalimantan kelas bawah, jadi tidak bermutulah. Jelas untuk zaman sekarang sudah tidak selaras dengan derap pembangunan menjelang tahun 2000; dan, maaf saya tidak mau sombong atau congkak, untuk kedudukan saya sebagai pejabat negara kita yang besar ini, kurang bergengsi ....”
  • Bagaimana pun pria harus lebih tinggi daripada wanita dalam segala hal.
    “... tetapi pada mental nyong sendiri yang terus terang hamba akui, masih berkebudayaan agraris; artinya tradisional kuno tidak mau kalah atau mengalah kepada perempuan. Inyong sadar, jika nyong jadi terjebak memasuki biduk romantika pernikahan dengan gadis sesuper dia, pasti nyong kelak akan tetap abadi mendayung terus sampai tangan kaki pinggang leher pegal bahkan penggal, kalah dalam segala-galanya ....”

    “... Sedangkan Putri Nirmala menawarkan sehelai serbet. Aduh, jatuh gengsi nyong ....”
  • Arsitek lulusan UGM pasti dianggap hebat.
    “... tetapi jangan lupa, inyong arsitek, nah itulah. Lulusan UGM, itulah lagi.”

    “... Pasti Anda sebagai arsitek alumnus UGM sudah amat mahir dalam permasalahan renovasi gedung-gedung bersejarah.”

    “... Mosok bangunan tiga tingkat mau pakai pondasi lama. Biar di-accelerated evolution pun mustahil. Lalu bagaimana nasib kredibilitas profesional nyong? Padahal arsitek alumnus UGM? Jatuh berantakan reputasi nyong nanti."

Dari sejumlah ide yang sempat tertangkap mata itu, dapat dipastikan bahwa hampir semuanya merupakan “budaya” yang masih hidup di lingkungan masyarakat Indonesia, terlebih masyarakat Jawa. Korupsi, kolusi, dan nepotisme, misalnya, sudah merupakan “budaya” yang mendarah daging dan sangat sulit diberantas. Terbukti, di era reformasi yang menurut Cak Nun juga menjadi era refot-nasi ini, kasus “KKN” banyak digelar di mana-mana tanpa ada penyelesaian yang memuaskan.

Telah disebutkan, dalam proses kultural ada budaya residual, budaya bangkit, dan budaya dominan. Ide-ide yang tercetus dalam Impian Wongso Mul dapat dikelompokkan sebagai budaya residual, budaya bangkit, maupun budaya dominan. Yang termasuk budaya residual, antara lain: “Bagaimana pun pria harus lebih tinggi daripada wanita dalam segala hal”. Meskipun paham emansipasi wanita dan gerakan feminisme sudah “mendunia” dan kesempatan bagi wanita untuk berkembang sudah demikian luasnya, masih saja ada anggapan bahwa pria tidak boleh kalah atau mengalah. Anggapan ini tentu saja tidak hanya berasal dari kaum pria. Kaum wanita pun masih ada yang beranggapan demikian. Inilah salah satu bentuk kesepakatan yang terjadi antara kaum pria dan kaum wanita yang sudah dipraktekkan selama sekian abad dan mungkin masih akan berlangsung sekian abad lagi meskipun tidak lagi menjadi nilai yang dominan. Dikatakan bahwa hegemoni bukanlah bentuk dominasi yang pasif, melainkan suatu proses yang harus terus-menerus diperbarui, diciptakan kembali, dipertahankan, dan dimodifikasi. Setelah sekian abad berlangsung, nilai semacam itu tentu saja telah mengalami proses yang panjang. Ada saatnya diperbarui, diciptakan kembali, dipertahankan, dan dimodifikasi.

Ide bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah demikian membudaya di seluruh lapisan masyarakat kiranya bisa dianggap sebagai budaya dominan yang cenderung memargi-nalisasikan dan menekan ide-ide lain. Wongso Mul mengundang si Arsitek makan di rumahnya untuk membujuk si Arsitek sehingga mau memenuhi keinginannya yang mustahil dilaksana-kan itu merupakan praktek “suap” alias “sogok” yang hampir selalu menyertai praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Lagipula, si Arsitek yang juga diharapkan (atau mungkin sudah dianggap) menjadi calon menantunya itu kiranya bisa “dimanfaatkan” untuk memenuhi keinginannya. Barangkali kalau dengan calon menantu, dia tak perlu membayar terlalu banyak. Atau jika dia menyuruh orang lain akan ditolak, tetapi calon menantu pasti tak mungkin berani menolak meskipun sebenarnya sangat enggan dan ingin berontak. Ide semacam inilah yang mendominasi cerpen Impian Wongso Mul yang memarginalisasikan dan menekan ide-ide lain.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Impian Wongso Mul menawarkan ideologi-ideologi yang merupakan cermin nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Ideologi-ideologi tersebut ada yang bisa dianggap sebagai budaya residual maupun budaya dominan. Dalam Impian Wongso Mul memang terdapat kesepakatan antara Wongso Mul dan si Arsitek. Akan tetapi, kesepakatan tersebut bukanlah kesepakatan yang murni. Di balik kesepakatan itu ada konflik-konflik yang tersembunyi dalam diri si Arsitek dan tidak mungkin diungkapkan karena alasan tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hegemoni yang terjadi adalah hegemoni yang merosot karena ada potensi desintegrasi, yaitu: mentalitas si Arsitek yang tidak sungguh-sungguh selaras dengan pemikiran Wongso Mul.


Yogyakarta, 13 Oktober 1998

Seksi Benar


Ini dia foto terbaru, maksudnya ya setahun yang lalu ...

Rabu, 21 November 2007

Masih tentang Alam

Sebuah lagu lagi, tentang indahnya alam ...

Memandang alam dari atas bukit
Sejauh pandang kulepaskan
Sungai tampak berliku
Sawah hijau membentang
Bagai permadani di kaki langit
Gunung menjulang
Berpayung awan
Oh, indah pemandangan

Coba simak baik-baik ... dahsyat kan? Seandainya masih ada kesempatan belajar lagu semacam ini, anak-anak pasti lebih dekat dengan alam. Jadi, mereka takkan tega merusaknya.

Mengagumi Alam

Sebelum lupa lagi, sebaiknya saya tulis di sini. Di mana lagi bisa menyimpan file dengan aman, kalau tidak di sini. Sekalian dibagikan kepada teman, jika mereka membutuhkan. Frustrasi karena komputer di kantor rusak terus, padahal file-file penting disimpan di sana. Oke deh, ini lagunya.

Alam terhampar di bumiku ini
Alangkah indah berseri
Lembah yang hijau, sawah yang membentang
Semua berpadu serasi
Tuhan, Tuhan Pemurah
Sadar daku padaMu
Betapa agung limpah anugrahMu
Bagi bumiku tercinta.

Jika ada yang ingat dengan lagu ini, tolong dong kasih tahu apa judulnya.

Selasa, 13 November 2007

Waktu Menyingsing Fajar

Mudah-mudahan kalian belum bosan membaca tulisan saya tentang lagu-lagu anak-anak yang pernah saya pelajari dan sekarang tak lagi bisa saya dengarkan. Saya sungguh prihatin dengan nasib lagu-lagu yang sangat dalam maknanya tetapi kehilangan tempat lantaran tergeser lagu-lagu yang (menurut saya) tak punya orientasi jelas ...

Waktu menyingsing fajar
Pagi sunyi senyap
Matahari bersinar
Mengganti malam glap
Tampak sekuntum bunga
Di muka rumahku
Kepala mas juwita
Daunnya beledu

Begitulah, anak-anak seyogyanya didekatkan pada alam yang ada di sekelilingnya. Menyadari malam yang telah berganti menjadi pagi, mengagumi sinar mentari yang mulai merekah di pagi hari, memperhatikan bunga-bunga yang mulai bermekaran dengan daun-daun yang menghijau laksana beledu ... Wah ... dahsyat!

Jumat, 09 November 2007

Yang ini tentang Bulan Sabit

Ada lagu lagi nih ...

Bulan sabit di awan
Laksana prahu emas
Berlampu bintang
Berlaut langit
Jauh di angkasa luas
Betapa senang hatiku rasanya
Menjadi nahkoda di sana


Asyik ya ...
Coba bayangkan bentuk bulan sabit itu, lalu rasakan bahwa bulan itu serupa kapal yang membawa kita mengarungi samudera hidup yang mahaluas ini ...

Bintang Kejora

Wah ... aku ingat satu lagu lagi nih ...
Judulnya "Bintang Kejora"

Kupandang langit penuh bintang bertaburan
Berkelap-kelip seumpama intan berlian
Tampak sebuah lebih terang cahayanya
Itulah bintangku, Bintang Kejora, yang indah slalu

Begitulah....
Alangkah indahnya jika anak-anak tetap bernyanyi, berpikir, dan berbuat sesuai dengan porsinya sebagai anak. Masih adakah anak yang diberi kesempatan untuk mempelajari lagu-lagu seperti itu? Rasanya sangat sulit ditemukan karena anak-anak itu ternyata lebih tertarik dengan lagu-lagu sebangsa ini nih ... "wow oh oh ... kamu ketahuan, pacaran lagi ...". Wadhuh ... berat ... Nggak heranlah jika dunia anak-anak menjadi makin sempit dan sulit dinikmati oleh anak-anak dengan lebih leluasa ...
Gila ...

Senin, 05 November 2007

SEPUTAR ISTILAH FILOLOGI

Bagi para cendekiawan yang berkecimpung di bidang ilmu humaniora, kata “filologi” bukanlah sebuah kata asing yang sama sekali belum pernah didengar. Kata “filologi” justru sangat akrab di telinga mereka karena bagaimana pun ilmu yang mereka geluti pasti ada hubungannya dengan “filologi”, entah ilmu itu menjadi ilmu bantu bagi “filologi” entah sebaliknya. Namun, apa sebenarnya “filologi” itu? Ada banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli, yang jika disatukan kiranya akan saling melengkapi.

Menurut Kamus Istilah Filologi (Baroroh Baried, R. Amin Soedoro, R. Suhardi, Sawu, M. Syakir, Siti Chamamah Suratno: 1977), filologi merupakan ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan kekhususannya atau yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kesusastraan-nya. Hal serupa diungkapkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa: 1988). Sementara itu dalam Leksikon Sastra (Suhendra Yusuf: 1995) dikatakan bahwa dalam cakupan yang luas filologi berarti seperti tersebut di atas, sedangkan dalam cakupan yang lebih sempit, filologi merupakan telaah naskah kuno untuk menentukan keaslian, bentuk autentik, dan makna yang terkandung di dalam naskah itu.

Tidak jauh berbeda dari definisi-definisi di atas Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu-Zain) (J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain: 1994) menekankan bahwa filologi meneliti dan membahas naskah-naskah lama sebagai hasil karya sastra untuk mengetahui bahasa, sastra, dan budaya bangsa melalui tulisan dalam naskah itu. Sementara W.J.S. Poerwadarminta (1982) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia lebih menekankan bahwa filologi mempelajari kebudayaan manusia terutama dengan menelaah karya sastra atau sumber-sumber tertulis.

Sebagai bukti bahwa ilmu lain pun menaruh perhatian terhadap filologi atau bahkan memerlukan filologi, Koentjaraningrat, dkk. (1984) dalam Kamus Istilah Antropologi mengungkapkan filologi sebagai ilmu yang mempelajari bahasa kesusastraan dan sejarah moral dan intelektual dengan menggunakan naskah kuno sebagai sumber.

Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1986) dalam Pemandu di Dunia Sastra mengungkapkan asal kata filologi, yaitu “philos” dan “logos” yang berarti cinta terhadap kata. Sementara itu tugas seorang filolog adalah membanding-bandingkan naskah-naskah kuno untuk melacak versi yang asli, lalu menerbitkannya dengan catatan kritis.

Webster’s New Collegiate Dictionary (1953) mendefinisi-kan filologi ke dalam tiga hal, yaitu:
  • cinta pengetahuan atau cinta sastra, yaitu studi sastra, dalam arti luas termasuk etimologi, tata bahasa, kritik, sejarah sastra dan linguistik;
  • ilmu linguistik;
  • studi tentang budaya orang-orang beradab sebagaimana dinyatakan dalam bahasa, sastra, dan religi mereka, termasuk studi bahasa dan perbandingannya dengan bahasa serumpun, studi tata bahasa, etimologi, fonologi, morfologi, semantik, kritik teks, dll.

Berbeda dengan kamus yang lain, Dictionary of World Literature (Joseph T. Shipley, ed.: 1962) memuat definisi filologi secara panjang lebar. Dalam kamus ini dijelaskan asal kata filologi dan orang-orang yang pertama kali menggunakan kata itu. Di samping itu dijelaskan pula perkembangan ilmu filologi di beberapa tempat. Misalnya pada abad ke-19 istilah filologi di Inggris selalu berhubungan dengan ilmu linguistik. Filologi juga termasuk dalam teori sastra dan sejarah sastra. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa kritik sastra tidak mungkin ada tanpa filologi.

Jika setiap definisi tersebut kita cermati lebih lanjut, setidak-tidaknya sebagian kecil dari masing-masing definisi ada yang sama. Setiap definisi menggolongkan filologi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan. Filologi berhubungan erat dengan bahasa, sastra, dan budaya. Filologi menelaah bahasa, sastra, dan budaya itu dengan bersumber pada naskah-naskah kuno. Dari naskah-naskah kuno itu dapat diketahui pula perkembangan bahasa, sastra, budaya, moral, dan intelektual suatu bangsa.

KEINDAHAN MATEMATIK DAN LOGIK (Dua Versi Syair Perahu)

Dalam kesusastraan Melayu “perahu” sering digunakan untuk melukiskan hal-hal yang berhubungan dengan Sufi. Penyair sering membandingkan atau mempersamakan bagian-bagian perahu dengan pengertian-pengertian Sufi yang dilambangkannya. Perbandingan-perbandingan tersebut berlan-daskan pada hal-hal sebagai berikut.
  1. Keserupaan bentuk, misalnya: sengkar perahu diperbandingkan dengan persatuan huruf alif-lam; pasak dengan bintang; penimba dengan matahari dan bulan, dst.
  2. Keserupaan tindakan, misalnya: sauh yang diturunkan ke dalam laut seolah-olah merupakan tindakan pembersihan diri sehingga disebut tarikat ikhlas (‘jalan pembersihan’); perahu tidak dapat berlayar tanpa layar sehingga layar sering disebut la tataharraku yang merupakan kata-kata permulaan sebuah hadis yang terkenal di kalangan Sufi.
  3. Hubungan dengan cerita tertentu, misalnya: cerita bahwa Roh Ilahi terbit bagaikan titik api ketika malaikat-malaikat menyesah batu dengan rantai, sehingga rantai sauh perahu disebut sebagai Ruh al-Kudus.

Adapun Syair Perahu dikatakan mengandung keindahan matematik dan logik karena jika jumlah bait pada setiap bagian syair dicatat satu demi satu, akan terwujud sebuah komposisi syair yang mengandung beberapa keistimewaan sehubungan dengan Sufi. Komposisi tersebut adalah sebagai berikut.


6+2+2+2+2+2+2+3+3+3+4+4+4+6+6+[3]+6+3+3+3+3+3+3+3+6+6 =
6+/ 6(2)+3(3)+3(4)+6 // 2(6)+[3]+3(3)+4(3)+6 /+6
(tanazzul) (tarakki)


Jika bingkai syair (bagian permulaan dan penutup) yang masing-masing terdiri atas enam bait dan interpolasi [3] dikesampingkan, lalu pada akhir bagian yang membicarakan doktrin “martabat tujuh” diberi tanda pemisah (//), maka paruh pertama dan paruh kedua syair itu tampak simetris. Kedua-duanya terdiri atas 39 bait yang rangkaian bagian-bagiannya disusun secara simetris dan jumlah baitnya pun sama, yaitu: 6(2)+3(3)+3(4) = 12+9+12 dan 2(6)+3(3)+4(3) = 12+9+12. Baik paruh pertama maupun paruh kedua diakhiri dengan bagian yang terdiri atas 6 bait.

Paruh pertama terutama berpusat pada deskripsi tentang “perjalanan turun” atau proses penciptaan (tanazzul), sedangkan paruh kedua lebih menguraikan “perjalanan naik” (tarakki). Sufi yang menempuh “jalan naik” ini melalui martabat-martabat Wujud secara terbalik. Mungkin karena alasan inilah susunan angka yang menunjukkan jumlah bait dan bagian-bagian pada paruh kedua merupakan kebalikan dari paruh pertama. Jumlah bait yang bertambah dengan tetap pada paruh pertama (2-3-4) kiranya dimaksudkan untuk melukiskan ide tentang bertambahnya sifat jamak atau pluralitas sepanjang “perjalanan turun” dari satu martabat Wujud ke martabat yang lain.

Komposisi syair tersebut berlandaskan pada angka 2,3,4, dan secara tidak langsung angka 7. Keempat angka tersebut mempunyai pelbagai makna mistik dalam ilmu tasawuf dan membentuk kerangka ajaran tentang “martabat tujuh” yang dibagi menjadi dua golongan. Golongan pertama mengandung tiga martabat, sedangkan golongan kedua mengandung empat martabat. Adapun angka 6 yang bioasanya berdampingan dengan angka 2 melambangkan beberapa pengertian sekaligus. Pertama, 6 merupakan simbol gerak Sufi dalam perjalanannya. Kedua, merupakan simbol gerak peredaran lengkap, baik dalam “perjalanan turun” maupun dalam “perjalanan naik”. Ketiga, merupakan simbol pencapaian Wahdat, martabat ke-6 dan batas terjauh yang dapat dijangkau oleh perahu yang membawa si salik.

Dari uraian panjang lebar yang mengandung angka-angka tersebut dapatlah dimaklumi mengapa Syair Perahu dikatakan mengandung keindahan matematik dan logik.

KEINDAHAN TEKA-TEKI YANG HALUS

Hikayat Syah Mardan (HSM) merupakan salah satu hikayat yang memuat alegori-alegori Sufi. Hikayat ini sangat terkenal, terbukti dengan adanya lebih dari tiga puluh manuskrip yang memuatnya. HSM ditulis pada abad ke -17 (tidak sebelum dasawarsa terakhir abad ke-16 dan juga tidak sesudah tahun 1736). Dilihat dari nama pelaku dan nama tempat yang terdapat di dalamnya, HSM menunjukkan adanya hubungan dengan istilah-istilah Sufi. Nama Syah Mardan (Raja Manusia), misalnya, merupakan petunjuk tentang kedudukan potensial pelaku utama sebagai Manusia Sempurna (Insan Kamil) yang merupakan tujuan untuk jalan Sufi. Nama negeri tempat kelahiran pelaku utama, Dar al-Khatan (Negeri Khitan), merupakan lambang inisiasi masuk Islam, demikian seterusnya. Ada empat bagian pokok dalam HSM sebagai berikut.
  1. Pendidikan si pelaku utama dalam kiat untuk memindahkan nyawa.
  2. Pemindahan nyawa pelaku utama ke jasad burung bayan (burung nuri), dan dalam penyamaran ini masuk ke kawasan putri-putri istana, serta petualangan-petualangan asmara bersama putri-putri itu.
  3. Keberhasilan pelaku utama menyembuhkan sang putri yang “gagu” dengan mengajukan teka-teki padanya.
  4. Penangkapan secara licik atas tubuh pelaku utama, ketika sedang dalam keadaan kosong, oleh gurunya; serta tertangkapnya kembali tubuh itu oleh nyawa pelaku utama dengan jalan kecerdikan.

Dari keempat bagian itu, yang dianggap paling indah adalah bagian ke-3, yang merupakan suatu ikhtisar konsep Sufi yang terkandung dalam HSM. Ikhtisar tersebut dengan sangat rapi dipaparkan dalam bentuk empat buah teka-teki simbolik yang disusun dalam komposisi yang tepat simetris berlandaskan bilangan empat. Bagian ke-3 ini tidak hanya menyatukan unsur-unsur naratif dan doktrinal dengan penuh harmoni, tetapi permainan dengan teka-teki tersebut seakan-akan membantu menjelaskan makna yang tersirat dalam HSM. Adapun keempat teka-teki itu adalah sebagai berikut.

  1. Kisah seorang raja dan empat kawannya: anak menteri, anak tukang, anak alim, dan anak saudagar. Mereka berlima berangkat mengembara. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan empat gadis jelita yang ingin memikat mereka. Gadis pertama menguraikan rambutnya, gadis kedua membuka dadanya, gadis ketiga memperlihatkan jemarinya, dan gadis keempat memperlihatkan giginya. Apakah arti semua perbuatan gadis-gadis itu? Menurut putri Julus al-Asyikin, gadis pertama memberikan isyarat bahwa ia tinggal di rumah yang di dekatnya tumbuh pohon pinang; gadis kedua memberitahukan bahwa di dekat rumahnya tumbuh pohon kelapa gading; gadis ketiga mengisyaratkan bahwa di dekat rumahnya tumbuh pohon pacar yang daunnya bisa dipakai sebagai inai; sedangkan gadis keempat menyatakan bahwa di dekat rumahnya tumbuh pohon delima. Adapun simbolisme erotik yang terkandung dalam keempat pohon itu merupakan simbol-simbol dalam perkawinan: buah pinang melambangkan lamaran, inai dari daun pacar berperan penting dalam upacara perkawinan, buah delima melambangkan bibir gadis cantik, sedangkan buah kelapa gading yang utuh melambangkan keperawanan. Keempat simbol ini bisa dikaitkan dengan empat tahap perjalanan Sufi. Pertunangan yang menandai titik tolak perjalanan menuju penyatuan (syariat) dilambangkan dengan pohon pinang. Kesadaran akan kesucian (tarikat) diibaratkan dengan pohon kelapa gading. Perkawinan (hakikat) dilambangkan dengan pohon pacar. Penyatuan asyik-masyuk (makrifat) dilambangkan dengan pohon delima. Sementara, putra raja dan keempat kawannya itu melambangkan calon Insan Kamil dan empat tahap perjalanan Sufi yang harus ditempuh (hakikat, syariat, tarikat, dan makrifat) dengan cara menjinakkan empat nafsu dalam jiwa: nafsu safiyah (anak mentri), nafsu amarah (anak tukang), nafsu lawamah (anak saudagar), dan nafsu mutmainah (anak alim).
  2. Kisah empat sekawan yang bertemu dengan seseorang yang diselitkan di pucuk pohon. Salah seorang dari empat sekawan itu menurunkannya, yang kedua membawanya, yang ketiga menyembuhkannya, dan yang keempat memberinya uang. Siapa di antara empat sekawan itu yang menjadi bapaknya, ibunya, saudaranya, dan sahabatnya? Dan siapa yang telah menyelitkan dia di pucuk pohon? Jawaban atas teka-teki ini merupakan lambang-lambang perjalanan Sufi. Yang menjadi bapaknya (syariat) adalah orang yang menurunkannya dari pucuk pohon; ibunya (tarikat) adalah orang yang membawanya; saudaranya (hakikat) adalah orang yang menyembuhkannya; sahabatnya (makrifat) adalah orang yang memberinya uang; sementara orang menyelitkan dia di pucuk pohon adalah Tuhan sendiri.
  3. Kisah tentang pandai besi, pandai kayu, pandai tenun, pandai emas, dan zahid yang terpaksa bermalam di suatu tempat sepi dan berbahaya. Mereka sepakat untuk secara bergilir menjaga kawan-kawan yang sedang tidur. Ketika berjaga, pandai besi membuat pisau, pandai kayu membuat patung perempuan dengan pisau itu, pandai tenun membuatkan pakaian, pandai emas membuatkan perhiasan, sedangkan si zahid berdoa memohon kepada Tuhan agar menghidupkan patung itu. Siapa yang menjadi bapak, ibu, saudara, sahabat, dan Tuhannya? Dalam hal ini simbolismenya cukup jelas karena yang dibicarakan adalah kisah penciptaan. Bapaknya adalah pandai besi (tahap makrifat), ibunya adalah pandai kayu (tahap hakikat), saudaranya adalah pandai tenun (tahap tarikat), sahabatnya adalah pandai emas (tahap syariat), sedangkan Tuhannya adalah si zahid yang menghidupkannya.
  4. Kisah orang yang berjalan di air, di angin, di tanah, dan di api. Siapakah mereka. Orang pertama adalah orang syariat, orang kedua adalah orang tarikat, orang ketiga adalah orang hakikat, sedangkan roang keempat adalah orang makrifat.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa keempat teka-teki itu disampaikan dalam rangka menjelaskan tahap-tahap perjalanan Sufi yang bisa dipakai sebagai bekal pemahaman terhadap keseluruhan HSM.