Photobucket

Selasa, 16 September 2008

Mengharap Zakat Jadi Mayat

Begitulah nasib kedua puluh satu perempuan di Pasuruhan. Ingin mendapatkan Rp 30.000,00, nyawa jadi taruhan. Jika sudah begini, siapa yang akan disalahkan? Tidak adakah sistem pembagian yang lebih menusiawi?
Tentu saja para perempuan itu hanya ingin berjuang untuk mendapatkan sesuap dua suap nasi pengganjal perut manakala harga-harga kebutuhan hidup semakin mencekik. Uang Rp 30.000,00 takkan dapat memenuhi semua kebutuhan mereka. Namun, Rp 30.000 sangatlah berharga di saat seperti ini. Mana mungkin mereka rela berdesak-desakan seperti itu jika mereka tidak sangat membutuhkan uang itu. Mana mungkin mereka datang jauh-jauh ke rumah sang pemberi zakat jika mereka tidak kesrakat. Tak banyak keinginan mereka. Mendapatkan uang sejumlah itu demi dapur agar tetap ngebul. Namun kenyataannya, bukan uang yang mereka dapatkan, melainkan nyawa hilang lantaran berdesak-desakan.
Wahai para empunya harta, tidakkah ada cara yang lebih manusiawi? Haruskah kalian menyiksa mereka demi sebuah "nama baik", "kehormatan", dan "pujian"?

Melangkah dan Melangkah

Hari ini ada satu peristiwa yang pantas dicatat. Itulah mengapa saya kembali membuka blog yang telah lama saya abaikan.
Ketika saya mengikuti sebuah acara di kampung, ada seorang gadis yang benar-benar mengagumkan. Gadis itu bercerita tentang pengalamannya dengan sangat gamblang tanpa merasa takut ataupun malu. Dia menceritakan keadaannya selama dua tahun terakhir. Depresi berat telah hampir merenggut masa remajanya. Berkali-kali dia harus masuk Puri Nirmala (sebuah klinik untuk orang-orang yang mengalami depresi berat). Padahal usianya baru belasan tahun. Obat anti depresi tak pernah lepas dari kesehariannya, sampai-sampai badannya menggelembung. Begitulah, selama dua tahun ini hari-harinya selalu diwarnai kegamangan. Hidup ini untuk apa? Itu pertanyaan yang muncul di sela-sela kegamangannya. Dan, dahsyatnya, dia telah menemukan jawabannya, yakni: HIDUP INI UNTUK BERKARYA BAGI SESAMA, KARENANYA KITA HARUS SELALU MELANGKAH DAN TIDAK BOLEH SEDIKIT PUN MUNDUR! MELANGKAH DAN MELANGKAH! Begitulah. Pada akhirnya, semboyan itulah yang bisa membangkitkan dia dari keterpurukannya.
Nah, beranikah kita berbuat seperti gadis itu, mengakui siapa diri kita yang sebenarnya dengan segala kelemahan yang ada di hadapan orang lain?