Photobucket

Selasa, 10 Juli 2007

Zoetmulder


“Wiku haji jĕnĕk aŋher iŋ śūnya” (Sum 28.11). Demikian tertulis pada batu pualam yang menghiasi makam Petrus Josephus Zoetmulder, SJ yang wafat pada tanggal 8 Juli 1995. Raja para wiku yang dengan asyik menantikan Kehampaan. Kutipan dari Kakawin Sumanasāntaka gubahan Mpu Monaguna ini memang sangat cocok dengan sosok Zoetmuder semasa hidupnya. Hampir seluruh waktunya dihabiskannya untuk memahami isi hati orang Jawa dengan berkelana di “Hutan Jawa” yang hampir tak pernah disentuh oleh orang Jawa sendiri. Salah satu sudut ruang di sebelah Timur Gereja Katolik Kumetiran yang kini tak berbekas lagi telah menjadi saksi bisu ketekunannya menjelajahi “hutan lebat” itu dalam rangka melaksanakan tugas perutusannya sebagai seorang Yesuit. Sebuah tugas yang diyakininya sebagai sarana “njembarake Kraton Dalem” (Suratmin, 1983/1984:9). Tak heran jika Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada pun memberinya gelar “resi” (Sutrisno, et al., 1991:v).

Zoetmulder yang dilahirkan pada tanggal 29 Januari 1906 di Utrecht ini memiliki nama samaran “Artati” (manis). Nama ini mengandung makna yang sangat dalam, menunjuk pada pribadi yang dianugerahi bakat istimewa untuk meraba kehalusan, mencicipi kemanisan, merasakan keindahan, mendalami relung-relung budaya, serta menyelami rahasia manusia dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya (Suhatno, 1979/1980:4). Setidaknya, itulah yang hendak dibuktikan Zoetmuder melalui karya-karyanya.

Dengan disertasinya Pantheïsme en Monisme in de Javaansche Soeloek-Litteratuur (1935) yang diterjemahkan oleh Dick Hartoko (1990) menjadi Manunggaling Kawula Gusti: Pantheïsme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, Zoetmulder ingin memberikan sumbangan kecil guna memahami bangsa yang menghasilkan sastra ini. Menurutnya, lewat sastra religius inilah suatu bangsa membuka isi hatinya. Dari sinilah Zoetmulder mulai memahami isi hati orang Jawa.

De Taal van het Ādiparwa (1950) merupakan bukti komitmen awal Zoetmulder dalam menggeluti bahasa dan sastra Jawa Kuna. Buku yang bersama I.R. Poedjawijatna disadurnya ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Bahasa Parwa: Tata Bahasa Djawa Kuno I dan II (1954) itu memuat tatabahasa Jawa Kuna berdasarkan bahasa yang termuat dalam parwa-parwa. Buku ini diharapkan dapat mendorong minat peneliti untuk menelaah karya sastra Jawa Kuna supaya pemahaman atas kebudayaan di Indonesia makin lama makin sempurna.

Untuk membantu pemahaman terhadap tatabahasa Jawa Kuna, Zoetmulder menerbitkan Sĕkar Sumawur I: Dewamānusa-rāksasādi (1958) dan Sĕkar Sumawur II: Korawapāndawacarita (1963). Kedua bunga rampai yang memuat kutipan-kutipan dari beberapa parwa ini dipakainya sebagai alat untuk mengajar baasa Jawa Kuna.

Rasa cinta dan penghayatan yang mendalam terhadap dunia Jawa Kuna pun telah dibuktikannya dengan diterbitkannya Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literature (1974) yang lagi-lagi oleh Dick Hartoko diterjemahkan menjadi Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983). Buku ini dapat dikatakan merupakan ensiklopedi hasil-hasil penelitian di bidang Jawa Kuna dan sebagian Jawa Pertengahan.

Karya monumentalnya yang tidak akan mungkin dilupakan adalah Old Javanese – English Dictionary (1982) yang disusunnya bersama S.O. Robson selama kurang lebih 30 tahun. Kamus ini kemudian diterjemahkan oleh Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna menjadi Kamus Jawa Kuna – Indonesia (1995). Sumber yang dipakai dalam penyusunan kamus ini tak lain adalah Pustaka Jawa Kunanya yang sekarang ditempatkan di Perpustakaan Universitas Sanata Dharma dengan nama Pustaka Artati.