Photobucket

Jumat, 23 November 2007

"Impian Wongso Mul"

“IMPIAN WONGSO MUL”
KARYA Y.B. MANGUNWIJAYA
(SEBUAH TINJAUAN SOSIOLOGI HEGEMONI)

Impian Wongso Mul yang dimuat dalam KOMPAS Minggu, tanggal 30 Agustus 1998 merupakan salah satu cerpen Y.B. Mangunwijaya yang tergolong baru. Cerpen ini kiranya merupakan salah satu reaksi Mangunwijaya terhadap peristiwa-peristiwa heboh yang belakangan ini terjadi di negara kita yang konon adil, makmur, merata, dan sejahtera itu. Impian Wongso Mul mengisahkan Bapak Wongsomulio yang menjadi Kepala Kanwil GADISBINAL (Lembaga Distribusi Sembilan (bahan pokok) Nasional) dengan impiannya versus Mas As, seorang Arsitek Harapan Muda lulusan UGM, yang dikehendaki menjadi menantunya. Dilihat dari judul, nama tokoh-tokohnya, dan ungkapan-ungkapan khas yang dipakai, cerpen Impian Wongso Mul jelas bernuansa Jawa. Misalnya saja nama anak perempuan Wongso Mul, Dewi Retnaningtyas Kusuma Arum, lalu istilah-istilah seperti inyong (nyong), garwo (sigaran nyowo), serta kata “Saodara” dan “belio” yang sengaja ditulis demikian untuk menunjukkan aksen Jawa yang “medhok”. Dengan demikian, dari cerpen ini dapat dikaji beberapa pandangan atau ideologi-ideologi tertentu yang berbau Jawa atau bahkan khas Jawa. Baiklah, mari kita simak ringkasan ceritanya.

Alkisah, Wongsomulio alias Wongso Mul atau si Mul mengundang As untuk makan malam bersama di rumahnya. Dengan alasan krismon dan sang lidah yang tidak bisa diajak kompromi lagi, As terpaksa memenuhi undangan itu. Pada saat makan malam bersama itulah Wongso Mul mengemukakan keinginannya untuk membongkar rumahnya yang dianggapnya sudah ketinggalan zaman lalu menggantinya dengan gedung baru yang sesuai dengan selera post-modernisme (pos-mo). Tanpa basa-basi sang arsitek yang memang sedang krisis order itu segera menyanggupinya. Namun, malang bagi sang arsitek, ada satu syarat yang sangat mustahil dipenuhi, yakni: pondasinya harus menggunakan pondasi-pondasi yang sudah ada, tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. Sang arsitek yang sudah terlanjur menyanggupi order itu pun pusing tujuh keliling, memikirkan ketololan Wongso Mul dan kredibilitasnya sebagai arsitek lulusan UGM. Bagaimana mungkin membangun gedung pos-mo dengan pondasi pre-mo. Maksud hati ingin berontak, apa daya sang suara tak kunjung keluar, hanya mendekam lunglai dalam hati.

Kisah yang tampaknya sangat sederhana itu menjadi tidak sederhana lagi karena dikemas dalam bahasa yang cukup kompleks dengan gaya khas Mangunwijayan: kalimatnya panjang-panjang, sarat dengan ide, serta menggunakan istilah-istilah lokal maupun asing. Berikut ini kutipan kalimat terpanjang yang ada dalam cerpen itu.

Bukan, bukan pertama dan terutama karena belio tokoh korupsi kolusi dan nepotisme yang sudah membudaya di seluruh lapisan masyarakat, termasuk diri inyong juga, atau karena jas safarinya sekitar satu juta lebih harganya, kacamata bingkai emasnya membuat mukanya lebih angkuh lagi, apalagi karena rambutnya seharusnya tidak hitam legam tetapi teknologis diapgred tidak alamiah itu; komplet, kumis seperti mandor kolonial yang pernah nyong lihat dalam foto album “Koloniale Politiek in Nederlandsch Oost-indie”.

Dalam satu kalimat panjang itu setidak-tidaknya terdapat sembilan hal yang ingin disampaikannya, sebagai berikut.

  • Beliau, dalam hal ini Wongso Mul, adalah tokoh korupsi, kolusi, dan nepotisme.
  • Korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah membudaya di seluruh lapisan masyarakat, termasuk dalam diri sang arsitek.
  • Beliau adalah tokoh yang sangat kaya, terbukti dengan harga jas safarinya yang satu juta dan bingkai kacamatanya yang dari emas itu.
  • Beliau adalah orang yang angkuh.
  • Rambut beliau sebenarnya sudah beruban.
  • Beliau sudah mengenal semir rambut sehingga merasa perlu menyemir rambutnya yang sudah beruban itu.
  • Semir rambut membuat rambut menjadi tidak alamiah lagi.
  • Kumis beliau tebal sekali.
  • Sang arsitek pernah melihat album foto “Koloniale Politiek in Nederlandsch Oost-indie”.

Dengan demikian, jika dikaji secara sosiologis, khususnya dengan kacamata hegemoni, akan tampak ideologi-ideologi tertentu yang terkandung dalam cerpen itu. Sebelum berbicara lebih jauh tentang ideologi-ideologi yang terdapat dalam cerpen itu, ada baiknya kita bicarakan dulu apa dan bagaimana hegemoni itu.

Istilah hegemoni dipopulerkan oleh Antonio Gramsci, seorang intelektual Italia, dalam sebuah analisis tajam untuk mengkritik pandangan Marxisme (Ariel Heryanto, 1997: 85). Gramsci menekankan perlunya reinterpretasi fundamental ajaran-ajaran dasar Marx (Heru Hendarto, 1993:72).

Secara literal, hegemoni berarti “kepemimpinan” yang oleh para komentator politik lebih sering digunakan untuk menunjuk kepada pengertian dominasi (Faruk, 1994:62). Menurut Gramsci dominasi tidak sama dengan hegemoni. Dominasi adalah kekuasaan yang dicapai hanya dengan mengandalkan kekuatan memaksa (Ariel Heryanto, 1997:85). Sementara, hegemoni lebih merupakan suatu kemenangan yang diperoleh melalui suatu konsensus atau kesepakatan (Heru Hendarto, 1993:74). Hegemoni dapat terbentuk lewat berbagai cara dan di berbagai wilayah kehidupan sehari-hari yang tidak bersifat politis, seperti: kebudayaan, kesenian, keagamaan, dan keluarga. Adapun fungsi hegemoni adalah untuk melestarikan kekuasaan serta mengabsahkan penguasa dan segala ketimpangan sosial yang diakibatkan oleh kekuasaan itu. Hegemoni memberi toleransi terhadap perbedaan, bahkan perlawanan, sampai batas tertentu, sejauh dalam kendali sang penguasa. Perlawanan dapat diawali dengan hegemoni tandingan yang dibangun dengan cara yang sama. (Ariel Heryanto, 1997:85). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang terpenting dalam konsep hegemoni adalah konsensus atau kesepakatan.

Dikatakan ada tiga tingkatan hegemoni, sebagai berikut (Heru Hendarto, 1993:82-84).

  1. Hegemoni integral, ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh.
  2. Hegemoni yang merosot (decadent hegemony), ditandai dengan adanya potensi desintegrasi yang muncul dalam konflik-konflik tersembunyi “di bawah permukaan kenyataan sosial”. Mentalitas massa tidak sungguh-sungguh selaras dengan pemikiran dominan subjek hegemoni.
  3. Hegemoni minimun (minimal hegemony) merupakan bentuk hegemoni yang paling rendah, ditandai dengan keengganan elite politis, ekonomis, dan intelektual terhadap setiap campur tangan massa dalam hidup bernegara. Hegemoni hanya bersandar pada kesatuan ideologis tiga kelompok itu tanpa menyesuaikan diri dengan kepentingan dan aspirasi kelompok lain dalam masyarakat.

Teori Hegemoni Gramsci ini telah mengilhami Raymond Williams dalam studi kesusastraan. Kesusastraan tidak lagi dipandang sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh masyarakat kelas sebagai infrastrukturnya, tetapi sebagai kekuatan sosial, politik, dan kultural yang berdiri sendiri dan mempunyai sistem sendiri. Williams menekankan bahwa hegemoni merupakan suatu proses, bukan suatu bentuk dominasi yang ada secara pasif, melainkan sesuatu yang harus terus-menerus diperbarui, diciptakan kembali, dipertahankan, dan dimodifikasi. Dengan demikian, hegemoni menganalisis proses kultural dalam peranannya yang aktif atau konstitutif serta berurusan dengan bentuk-bentuk kultural oposisional dan alternatif yang mungkin menentang tatanan dominan. Williams membuat garis besar perbedaan ciri-ciri kebudayaan yang residual, yang dominan, dan yang bangkit, dalam proses kultural secara keseluruhan. Kebudayaan yang residual mengacu kepada pengalaman, makna-makna, dan nilai-nilai yang dibentuk pada masa lalu yang terus hidup dan dipraktekkan pada masa kini, meskipun bukan merupakan bagian dari kebudayaan yang dominan. Kebudayaan yang bangkit adalah praktek-praktek, makna-makna, dan nilai-nilai baru, hubungan dan jenis-jenis hubungan baru yang merupakan alternatif bagi kebudayaan yang dominan dan bertentangan dengannya. Kebudayaan yang dominan bersifat selektif, cenderung memarginalisasikan dan menekan seluruh praktek yang lain (Faruk, 1994:78-80).

Cerpen Impian Wongso Mul dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi kisah tentang asal-usul Wongso Mul dan Sang Arsitek serta hubungan yang terjadi di antara mereka. Bagian kedua mengisahkan peristiwa makan malam bersama di rumah Wongso Mul. Dalam jamuan makan malam inilah Wongso Mul mengemukakan impiannya yang merupakan tragedi bagi Sang Arsitek.

Jika dicermati, cerpen itu mengandung beberapa ide (gagasan), sebagai berikut.

  • Krismon sangat berpengaruh bagi kehidupan ekonomi warga klas menengah ke bawah tetapi tidak demikian halnya bagi warga klas atas yang punya jabatan tinggi.
    “Andai saja tidak ada krismon, sungguh inyong ogah, tidak akan memenuhi undangan Bapak yang terhormat ....”

    “Jadi Saodara pasti dapat merasakan, betapa mendalam derita kami yang diakibatkan situasi krismon, yang membuat sulit untuk solider dengan sang lidah yang kini tanpa henti membalas kami, main demo juga.”

    “... Pendek cerita, dalam situasi terjepit krimon ini, si Arsitek tingkat RSS bagaikan kelinci menghadap pemburunya, ....”

    “... Kami (Si Arsitek, Pak Wongso Mul beserta istri dan anaknya) mengelilingi meja makan super deluxe. Penuh hidangan antikrismon, subversif melawan anjuran Pak Habibie ....
  • Korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah demikian membudaya di seluruh lapisan masyarakat.
    “Bukan, bukan pertama dan terutama karena belio tokoh korupsi kolusi dan mepotisme yang sudah membudaya di seluruh lapisan masyarakat, termasuk diri inyong juga, ....“
  • Penampilan seseorang sangat mempengaruhi penilaian orang lain terhadapnya, sehingga sebisa mungkin seseorang harus mengikuti selera masyarakat yang sedang berlaku.
    “... tepatnya menaiki, mobil VW Kodok, nah, siapa yang tidak akan tergiur memilih dan memancing sopir VW Kodok menjadi menantunya. Itulah itulah.”

    “... Nak, saya ingin rumah ini dibongkar total lalu didirikan gedung baru yang memenuhi selera posmo seperti di sekian real estate di Jakarta itu.”
  • Kedudukan seseorang dalam masyarakat pun mempengaruhi penampilan seseorang.
    “... Memang kusen-kusen masih jati, ya cuma jati muda, tetapi kuda-kuda serta segala konstruksi pokoknya masih kayu Kalimantan kelas bawah, jadi tidak bermutulah. Jelas untuk zaman sekarang sudah tidak selaras dengan derap pembangunan menjelang tahun 2000; dan, maaf saya tidak mau sombong atau congkak, untuk kedudukan saya sebagai pejabat negara kita yang besar ini, kurang bergengsi ....”
  • Bagaimana pun pria harus lebih tinggi daripada wanita dalam segala hal.
    “... tetapi pada mental nyong sendiri yang terus terang hamba akui, masih berkebudayaan agraris; artinya tradisional kuno tidak mau kalah atau mengalah kepada perempuan. Inyong sadar, jika nyong jadi terjebak memasuki biduk romantika pernikahan dengan gadis sesuper dia, pasti nyong kelak akan tetap abadi mendayung terus sampai tangan kaki pinggang leher pegal bahkan penggal, kalah dalam segala-galanya ....”

    “... Sedangkan Putri Nirmala menawarkan sehelai serbet. Aduh, jatuh gengsi nyong ....”
  • Arsitek lulusan UGM pasti dianggap hebat.
    “... tetapi jangan lupa, inyong arsitek, nah itulah. Lulusan UGM, itulah lagi.”

    “... Pasti Anda sebagai arsitek alumnus UGM sudah amat mahir dalam permasalahan renovasi gedung-gedung bersejarah.”

    “... Mosok bangunan tiga tingkat mau pakai pondasi lama. Biar di-accelerated evolution pun mustahil. Lalu bagaimana nasib kredibilitas profesional nyong? Padahal arsitek alumnus UGM? Jatuh berantakan reputasi nyong nanti."

Dari sejumlah ide yang sempat tertangkap mata itu, dapat dipastikan bahwa hampir semuanya merupakan “budaya” yang masih hidup di lingkungan masyarakat Indonesia, terlebih masyarakat Jawa. Korupsi, kolusi, dan nepotisme, misalnya, sudah merupakan “budaya” yang mendarah daging dan sangat sulit diberantas. Terbukti, di era reformasi yang menurut Cak Nun juga menjadi era refot-nasi ini, kasus “KKN” banyak digelar di mana-mana tanpa ada penyelesaian yang memuaskan.

Telah disebutkan, dalam proses kultural ada budaya residual, budaya bangkit, dan budaya dominan. Ide-ide yang tercetus dalam Impian Wongso Mul dapat dikelompokkan sebagai budaya residual, budaya bangkit, maupun budaya dominan. Yang termasuk budaya residual, antara lain: “Bagaimana pun pria harus lebih tinggi daripada wanita dalam segala hal”. Meskipun paham emansipasi wanita dan gerakan feminisme sudah “mendunia” dan kesempatan bagi wanita untuk berkembang sudah demikian luasnya, masih saja ada anggapan bahwa pria tidak boleh kalah atau mengalah. Anggapan ini tentu saja tidak hanya berasal dari kaum pria. Kaum wanita pun masih ada yang beranggapan demikian. Inilah salah satu bentuk kesepakatan yang terjadi antara kaum pria dan kaum wanita yang sudah dipraktekkan selama sekian abad dan mungkin masih akan berlangsung sekian abad lagi meskipun tidak lagi menjadi nilai yang dominan. Dikatakan bahwa hegemoni bukanlah bentuk dominasi yang pasif, melainkan suatu proses yang harus terus-menerus diperbarui, diciptakan kembali, dipertahankan, dan dimodifikasi. Setelah sekian abad berlangsung, nilai semacam itu tentu saja telah mengalami proses yang panjang. Ada saatnya diperbarui, diciptakan kembali, dipertahankan, dan dimodifikasi.

Ide bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah demikian membudaya di seluruh lapisan masyarakat kiranya bisa dianggap sebagai budaya dominan yang cenderung memargi-nalisasikan dan menekan ide-ide lain. Wongso Mul mengundang si Arsitek makan di rumahnya untuk membujuk si Arsitek sehingga mau memenuhi keinginannya yang mustahil dilaksana-kan itu merupakan praktek “suap” alias “sogok” yang hampir selalu menyertai praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Lagipula, si Arsitek yang juga diharapkan (atau mungkin sudah dianggap) menjadi calon menantunya itu kiranya bisa “dimanfaatkan” untuk memenuhi keinginannya. Barangkali kalau dengan calon menantu, dia tak perlu membayar terlalu banyak. Atau jika dia menyuruh orang lain akan ditolak, tetapi calon menantu pasti tak mungkin berani menolak meskipun sebenarnya sangat enggan dan ingin berontak. Ide semacam inilah yang mendominasi cerpen Impian Wongso Mul yang memarginalisasikan dan menekan ide-ide lain.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Impian Wongso Mul menawarkan ideologi-ideologi yang merupakan cermin nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Ideologi-ideologi tersebut ada yang bisa dianggap sebagai budaya residual maupun budaya dominan. Dalam Impian Wongso Mul memang terdapat kesepakatan antara Wongso Mul dan si Arsitek. Akan tetapi, kesepakatan tersebut bukanlah kesepakatan yang murni. Di balik kesepakatan itu ada konflik-konflik yang tersembunyi dalam diri si Arsitek dan tidak mungkin diungkapkan karena alasan tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hegemoni yang terjadi adalah hegemoni yang merosot karena ada potensi desintegrasi, yaitu: mentalitas si Arsitek yang tidak sungguh-sungguh selaras dengan pemikiran Wongso Mul.


Yogyakarta, 13 Oktober 1998

Seksi Benar


Ini dia foto terbaru, maksudnya ya setahun yang lalu ...