Photobucket

Senin, 05 November 2007

SEPUTAR ISTILAH FILOLOGI

Bagi para cendekiawan yang berkecimpung di bidang ilmu humaniora, kata “filologi” bukanlah sebuah kata asing yang sama sekali belum pernah didengar. Kata “filologi” justru sangat akrab di telinga mereka karena bagaimana pun ilmu yang mereka geluti pasti ada hubungannya dengan “filologi”, entah ilmu itu menjadi ilmu bantu bagi “filologi” entah sebaliknya. Namun, apa sebenarnya “filologi” itu? Ada banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli, yang jika disatukan kiranya akan saling melengkapi.

Menurut Kamus Istilah Filologi (Baroroh Baried, R. Amin Soedoro, R. Suhardi, Sawu, M. Syakir, Siti Chamamah Suratno: 1977), filologi merupakan ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan kekhususannya atau yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kesusastraan-nya. Hal serupa diungkapkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa: 1988). Sementara itu dalam Leksikon Sastra (Suhendra Yusuf: 1995) dikatakan bahwa dalam cakupan yang luas filologi berarti seperti tersebut di atas, sedangkan dalam cakupan yang lebih sempit, filologi merupakan telaah naskah kuno untuk menentukan keaslian, bentuk autentik, dan makna yang terkandung di dalam naskah itu.

Tidak jauh berbeda dari definisi-definisi di atas Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu-Zain) (J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain: 1994) menekankan bahwa filologi meneliti dan membahas naskah-naskah lama sebagai hasil karya sastra untuk mengetahui bahasa, sastra, dan budaya bangsa melalui tulisan dalam naskah itu. Sementara W.J.S. Poerwadarminta (1982) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia lebih menekankan bahwa filologi mempelajari kebudayaan manusia terutama dengan menelaah karya sastra atau sumber-sumber tertulis.

Sebagai bukti bahwa ilmu lain pun menaruh perhatian terhadap filologi atau bahkan memerlukan filologi, Koentjaraningrat, dkk. (1984) dalam Kamus Istilah Antropologi mengungkapkan filologi sebagai ilmu yang mempelajari bahasa kesusastraan dan sejarah moral dan intelektual dengan menggunakan naskah kuno sebagai sumber.

Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1986) dalam Pemandu di Dunia Sastra mengungkapkan asal kata filologi, yaitu “philos” dan “logos” yang berarti cinta terhadap kata. Sementara itu tugas seorang filolog adalah membanding-bandingkan naskah-naskah kuno untuk melacak versi yang asli, lalu menerbitkannya dengan catatan kritis.

Webster’s New Collegiate Dictionary (1953) mendefinisi-kan filologi ke dalam tiga hal, yaitu:
  • cinta pengetahuan atau cinta sastra, yaitu studi sastra, dalam arti luas termasuk etimologi, tata bahasa, kritik, sejarah sastra dan linguistik;
  • ilmu linguistik;
  • studi tentang budaya orang-orang beradab sebagaimana dinyatakan dalam bahasa, sastra, dan religi mereka, termasuk studi bahasa dan perbandingannya dengan bahasa serumpun, studi tata bahasa, etimologi, fonologi, morfologi, semantik, kritik teks, dll.

Berbeda dengan kamus yang lain, Dictionary of World Literature (Joseph T. Shipley, ed.: 1962) memuat definisi filologi secara panjang lebar. Dalam kamus ini dijelaskan asal kata filologi dan orang-orang yang pertama kali menggunakan kata itu. Di samping itu dijelaskan pula perkembangan ilmu filologi di beberapa tempat. Misalnya pada abad ke-19 istilah filologi di Inggris selalu berhubungan dengan ilmu linguistik. Filologi juga termasuk dalam teori sastra dan sejarah sastra. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa kritik sastra tidak mungkin ada tanpa filologi.

Jika setiap definisi tersebut kita cermati lebih lanjut, setidak-tidaknya sebagian kecil dari masing-masing definisi ada yang sama. Setiap definisi menggolongkan filologi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan. Filologi berhubungan erat dengan bahasa, sastra, dan budaya. Filologi menelaah bahasa, sastra, dan budaya itu dengan bersumber pada naskah-naskah kuno. Dari naskah-naskah kuno itu dapat diketahui pula perkembangan bahasa, sastra, budaya, moral, dan intelektual suatu bangsa.

KEINDAHAN MATEMATIK DAN LOGIK (Dua Versi Syair Perahu)

Dalam kesusastraan Melayu “perahu” sering digunakan untuk melukiskan hal-hal yang berhubungan dengan Sufi. Penyair sering membandingkan atau mempersamakan bagian-bagian perahu dengan pengertian-pengertian Sufi yang dilambangkannya. Perbandingan-perbandingan tersebut berlan-daskan pada hal-hal sebagai berikut.
  1. Keserupaan bentuk, misalnya: sengkar perahu diperbandingkan dengan persatuan huruf alif-lam; pasak dengan bintang; penimba dengan matahari dan bulan, dst.
  2. Keserupaan tindakan, misalnya: sauh yang diturunkan ke dalam laut seolah-olah merupakan tindakan pembersihan diri sehingga disebut tarikat ikhlas (‘jalan pembersihan’); perahu tidak dapat berlayar tanpa layar sehingga layar sering disebut la tataharraku yang merupakan kata-kata permulaan sebuah hadis yang terkenal di kalangan Sufi.
  3. Hubungan dengan cerita tertentu, misalnya: cerita bahwa Roh Ilahi terbit bagaikan titik api ketika malaikat-malaikat menyesah batu dengan rantai, sehingga rantai sauh perahu disebut sebagai Ruh al-Kudus.

Adapun Syair Perahu dikatakan mengandung keindahan matematik dan logik karena jika jumlah bait pada setiap bagian syair dicatat satu demi satu, akan terwujud sebuah komposisi syair yang mengandung beberapa keistimewaan sehubungan dengan Sufi. Komposisi tersebut adalah sebagai berikut.


6+2+2+2+2+2+2+3+3+3+4+4+4+6+6+[3]+6+3+3+3+3+3+3+3+6+6 =
6+/ 6(2)+3(3)+3(4)+6 // 2(6)+[3]+3(3)+4(3)+6 /+6
(tanazzul) (tarakki)


Jika bingkai syair (bagian permulaan dan penutup) yang masing-masing terdiri atas enam bait dan interpolasi [3] dikesampingkan, lalu pada akhir bagian yang membicarakan doktrin “martabat tujuh” diberi tanda pemisah (//), maka paruh pertama dan paruh kedua syair itu tampak simetris. Kedua-duanya terdiri atas 39 bait yang rangkaian bagian-bagiannya disusun secara simetris dan jumlah baitnya pun sama, yaitu: 6(2)+3(3)+3(4) = 12+9+12 dan 2(6)+3(3)+4(3) = 12+9+12. Baik paruh pertama maupun paruh kedua diakhiri dengan bagian yang terdiri atas 6 bait.

Paruh pertama terutama berpusat pada deskripsi tentang “perjalanan turun” atau proses penciptaan (tanazzul), sedangkan paruh kedua lebih menguraikan “perjalanan naik” (tarakki). Sufi yang menempuh “jalan naik” ini melalui martabat-martabat Wujud secara terbalik. Mungkin karena alasan inilah susunan angka yang menunjukkan jumlah bait dan bagian-bagian pada paruh kedua merupakan kebalikan dari paruh pertama. Jumlah bait yang bertambah dengan tetap pada paruh pertama (2-3-4) kiranya dimaksudkan untuk melukiskan ide tentang bertambahnya sifat jamak atau pluralitas sepanjang “perjalanan turun” dari satu martabat Wujud ke martabat yang lain.

Komposisi syair tersebut berlandaskan pada angka 2,3,4, dan secara tidak langsung angka 7. Keempat angka tersebut mempunyai pelbagai makna mistik dalam ilmu tasawuf dan membentuk kerangka ajaran tentang “martabat tujuh” yang dibagi menjadi dua golongan. Golongan pertama mengandung tiga martabat, sedangkan golongan kedua mengandung empat martabat. Adapun angka 6 yang bioasanya berdampingan dengan angka 2 melambangkan beberapa pengertian sekaligus. Pertama, 6 merupakan simbol gerak Sufi dalam perjalanannya. Kedua, merupakan simbol gerak peredaran lengkap, baik dalam “perjalanan turun” maupun dalam “perjalanan naik”. Ketiga, merupakan simbol pencapaian Wahdat, martabat ke-6 dan batas terjauh yang dapat dijangkau oleh perahu yang membawa si salik.

Dari uraian panjang lebar yang mengandung angka-angka tersebut dapatlah dimaklumi mengapa Syair Perahu dikatakan mengandung keindahan matematik dan logik.

KEINDAHAN TEKA-TEKI YANG HALUS

Hikayat Syah Mardan (HSM) merupakan salah satu hikayat yang memuat alegori-alegori Sufi. Hikayat ini sangat terkenal, terbukti dengan adanya lebih dari tiga puluh manuskrip yang memuatnya. HSM ditulis pada abad ke -17 (tidak sebelum dasawarsa terakhir abad ke-16 dan juga tidak sesudah tahun 1736). Dilihat dari nama pelaku dan nama tempat yang terdapat di dalamnya, HSM menunjukkan adanya hubungan dengan istilah-istilah Sufi. Nama Syah Mardan (Raja Manusia), misalnya, merupakan petunjuk tentang kedudukan potensial pelaku utama sebagai Manusia Sempurna (Insan Kamil) yang merupakan tujuan untuk jalan Sufi. Nama negeri tempat kelahiran pelaku utama, Dar al-Khatan (Negeri Khitan), merupakan lambang inisiasi masuk Islam, demikian seterusnya. Ada empat bagian pokok dalam HSM sebagai berikut.
  1. Pendidikan si pelaku utama dalam kiat untuk memindahkan nyawa.
  2. Pemindahan nyawa pelaku utama ke jasad burung bayan (burung nuri), dan dalam penyamaran ini masuk ke kawasan putri-putri istana, serta petualangan-petualangan asmara bersama putri-putri itu.
  3. Keberhasilan pelaku utama menyembuhkan sang putri yang “gagu” dengan mengajukan teka-teki padanya.
  4. Penangkapan secara licik atas tubuh pelaku utama, ketika sedang dalam keadaan kosong, oleh gurunya; serta tertangkapnya kembali tubuh itu oleh nyawa pelaku utama dengan jalan kecerdikan.

Dari keempat bagian itu, yang dianggap paling indah adalah bagian ke-3, yang merupakan suatu ikhtisar konsep Sufi yang terkandung dalam HSM. Ikhtisar tersebut dengan sangat rapi dipaparkan dalam bentuk empat buah teka-teki simbolik yang disusun dalam komposisi yang tepat simetris berlandaskan bilangan empat. Bagian ke-3 ini tidak hanya menyatukan unsur-unsur naratif dan doktrinal dengan penuh harmoni, tetapi permainan dengan teka-teki tersebut seakan-akan membantu menjelaskan makna yang tersirat dalam HSM. Adapun keempat teka-teki itu adalah sebagai berikut.

  1. Kisah seorang raja dan empat kawannya: anak menteri, anak tukang, anak alim, dan anak saudagar. Mereka berlima berangkat mengembara. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan empat gadis jelita yang ingin memikat mereka. Gadis pertama menguraikan rambutnya, gadis kedua membuka dadanya, gadis ketiga memperlihatkan jemarinya, dan gadis keempat memperlihatkan giginya. Apakah arti semua perbuatan gadis-gadis itu? Menurut putri Julus al-Asyikin, gadis pertama memberikan isyarat bahwa ia tinggal di rumah yang di dekatnya tumbuh pohon pinang; gadis kedua memberitahukan bahwa di dekat rumahnya tumbuh pohon kelapa gading; gadis ketiga mengisyaratkan bahwa di dekat rumahnya tumbuh pohon pacar yang daunnya bisa dipakai sebagai inai; sedangkan gadis keempat menyatakan bahwa di dekat rumahnya tumbuh pohon delima. Adapun simbolisme erotik yang terkandung dalam keempat pohon itu merupakan simbol-simbol dalam perkawinan: buah pinang melambangkan lamaran, inai dari daun pacar berperan penting dalam upacara perkawinan, buah delima melambangkan bibir gadis cantik, sedangkan buah kelapa gading yang utuh melambangkan keperawanan. Keempat simbol ini bisa dikaitkan dengan empat tahap perjalanan Sufi. Pertunangan yang menandai titik tolak perjalanan menuju penyatuan (syariat) dilambangkan dengan pohon pinang. Kesadaran akan kesucian (tarikat) diibaratkan dengan pohon kelapa gading. Perkawinan (hakikat) dilambangkan dengan pohon pacar. Penyatuan asyik-masyuk (makrifat) dilambangkan dengan pohon delima. Sementara, putra raja dan keempat kawannya itu melambangkan calon Insan Kamil dan empat tahap perjalanan Sufi yang harus ditempuh (hakikat, syariat, tarikat, dan makrifat) dengan cara menjinakkan empat nafsu dalam jiwa: nafsu safiyah (anak mentri), nafsu amarah (anak tukang), nafsu lawamah (anak saudagar), dan nafsu mutmainah (anak alim).
  2. Kisah empat sekawan yang bertemu dengan seseorang yang diselitkan di pucuk pohon. Salah seorang dari empat sekawan itu menurunkannya, yang kedua membawanya, yang ketiga menyembuhkannya, dan yang keempat memberinya uang. Siapa di antara empat sekawan itu yang menjadi bapaknya, ibunya, saudaranya, dan sahabatnya? Dan siapa yang telah menyelitkan dia di pucuk pohon? Jawaban atas teka-teki ini merupakan lambang-lambang perjalanan Sufi. Yang menjadi bapaknya (syariat) adalah orang yang menurunkannya dari pucuk pohon; ibunya (tarikat) adalah orang yang membawanya; saudaranya (hakikat) adalah orang yang menyembuhkannya; sahabatnya (makrifat) adalah orang yang memberinya uang; sementara orang menyelitkan dia di pucuk pohon adalah Tuhan sendiri.
  3. Kisah tentang pandai besi, pandai kayu, pandai tenun, pandai emas, dan zahid yang terpaksa bermalam di suatu tempat sepi dan berbahaya. Mereka sepakat untuk secara bergilir menjaga kawan-kawan yang sedang tidur. Ketika berjaga, pandai besi membuat pisau, pandai kayu membuat patung perempuan dengan pisau itu, pandai tenun membuatkan pakaian, pandai emas membuatkan perhiasan, sedangkan si zahid berdoa memohon kepada Tuhan agar menghidupkan patung itu. Siapa yang menjadi bapak, ibu, saudara, sahabat, dan Tuhannya? Dalam hal ini simbolismenya cukup jelas karena yang dibicarakan adalah kisah penciptaan. Bapaknya adalah pandai besi (tahap makrifat), ibunya adalah pandai kayu (tahap hakikat), saudaranya adalah pandai tenun (tahap tarikat), sahabatnya adalah pandai emas (tahap syariat), sedangkan Tuhannya adalah si zahid yang menghidupkannya.
  4. Kisah orang yang berjalan di air, di angin, di tanah, dan di api. Siapakah mereka. Orang pertama adalah orang syariat, orang kedua adalah orang tarikat, orang ketiga adalah orang hakikat, sedangkan roang keempat adalah orang makrifat.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa keempat teka-teki itu disampaikan dalam rangka menjelaskan tahap-tahap perjalanan Sufi yang bisa dipakai sebagai bekal pemahaman terhadap keseluruhan HSM.