Photobucket

Selasa, 27 November 2007

Sarrasine-nya Barthes

KODE KULTURAL ATAU REFERENSIAL
DALAM
SARRASINE
MENURUT ROLAND BARTHES

Dalam bukunya yang berjudul S/Z, Roland Barthes mengupas sebuah teks pendek Sarrasine karya Honore de Balzac. Roland Barthes memilih karya Balzac tersebut karena diilhami sebuah artikel karya Jean Reboul berjudul “Sarrasine ou la castration personnifiee” dalam Cahiers pour l’Analyse. Di samping itu Roland Barthes juga ingin membuat analisis yang lengkap tentang sebuah teks pendek.

Menurut Raman Selden dan Peter Widdowson (1993:133-136) S/Z karya Roland Barthes tahun 1970 ini merupakan pelaksanaan teori post-strukturalisme. Barthes memulai karyanya dengan menyinggung sia-sianya ambisi para naratolog strukturalis yang mencoba melihat seluruh cerita dunia dalam suatu struktur tunggal. Menurutnya, usaha untuk menemukan struktur itu sia-sia karena masing-masing teks memiliki perbedaan yang merupakan akibat tekstualitasnya sendiri. Masing-masing teks dengan cara yang berbeda-beda mengacu kembali pada apa “yang tertulis (the already written)”.

Roland Barthes mengungkapkan ada dua tipe teks, yaitu teks “readerly” (lisible) dan teks “writerly” (scriptible). Teks readerly menawarkan makna tetap untuk pembaca karena teksnya “tertutup” dengan makna terbatas, sedangkan teks writerly memberi kesempatan kepada pembaca untuk memproduksi makna. Teks readerly memungkinkan pembaca menjadi konsumen, sedangkan teks writerly memungkinkan pembaca menjadi produsen. Dengan kata lain, teks readerly dibuat untuk dikonsumsi (dibaca), sedangkan teks writerly untuk diproduksi (ditulis).

Menurut Roland Barthes, teks yang ideal adalah sebuah galaksi penanda, bukan struktur petanda. Teks ideal tidak mempunyai struktur awal. Seseorang bisa memasukinya lewat ribuan pintu masuk dan tak satu pun yang dapat dinyatakan dengan sewenang-wenang sebagai pintu masuk utama.

Dalam analisisnya, Roland Barthes membagi S/Z menjadi 561 lexia, yaitu fragmen-fragmen berupa unit-unit bacaan yang mengandung penanda pemandu. Lexia ini bisa terdiri atas beberapa kata, bisa juga beberapa kalimat. Lexia-lexia ini merupakan ruangan terbaik yang me-mungkinkan kita amati maknanya. Dimensinya yang ditentukan dan diperkirakan secara empiris, akan sangat tergantung pada kepadatan konotasi yang bervariasi menurut momen-momen dalam teks itu. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa setiap lexia harus memiliki paling banyak tiga atau empat arti. Teks itu, dalam kumpulannya, serupa langit yang rata dan halus, dalam, tanpa tepi dan tanpa penunjuk; sementara, untuk mengetahui perpindahan makna dan menyingkap kode-kode, sang juru ulas melacaknya melalui wilayah-wilayah baca dalam teks itu, bagaikan peramal yang menggambar segi empat pada langit itu dengan ujung tongkatnya sebagai tempat meminta saran. Lexia hanyalah pembungkus sebuah isi semantis, garis puncak dari teks plural, yang disusun seperti sebuah bingkai makna-makna yang mungkin di bawah aliran wacana yang terus-menerus. Oleh karena itu, lexia dan unit-unitnya akan membentuk semacam polihedron yang disanding oleh kata, kelompok kata, kalimat, ataupun paragraf.

Ada lima kode yang dapat dipakai untuk “membaca” lexia-lexia yang terdapat dalam novel pendek karya Balzac ini. Setiap lexia akan termasuk dalam salah satu kode itu. Kelima kode itu adalah kode hermeneutik (HER), kode semik (SEM), kode simbolik (SYM), kode proairetik (ACT), dan kode kultural (REF). Masing-masing kode mempunyai kepentingan yang berbeda. Tidak ada satu kode pun yang lebih penting dari yang lain. Semua kode penting adanya.

Kode hermeneutik menyangkut enigma (teka-teki) manakala wacana dimulai. Tentang siapa, apa yang sedang terjadi, bagaimana hubungan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain, bagaimana suatu tujuan akan dicapai dan berbagai pertanyaan semacam itu akan muncul bila kita membaca sebuah cerita. Di bawah kode hermeneutik kita akan mendaftar berbagai istilah formal yang dengannya sebuah enigma akan dapat dibeda-bedakan, disarankan, dirumuskan, ditahan dalam ketegangan, dan akhirnya disingkap. Istilah-istilah tersebut tidak akan selalu muncul tetapi akan sering diulang dalam susunan yang tidak tetap. Kata Sarrasine pasti mendatangkan berbagai pertanyaan dalam benak kita. Apa sih Sarrasine itu? Kata benda? Sesuatu? Sebuah nama? Seorang laki-laki? Atau seorang perempuan? Pertanyaan semacam ini akan tidak terjawab sampai menjelang akhir cerita yang mengungkapkan biografi seorang pemahat bernama Sarrasine. Unit yang berfungsi mengungkapkan sebuah pertanyaan dalam berbagai cara, respons-responsnya, variasi peristiwa-peristiwa yang dapat merumuskan pertanyaan sekaligus menunda jawabannya, atau bahkan yang menyusunnya dalam sebuah enigma dan mengarah kepada pemecahannya, dapat digolongkan ke dalam kode hermeneutik. Dalam Sarrasine enigma juga berkisar pada tokoh La Zambinella. Sebelum pertanyaan “siapakah dia” akhirnya terjawab - bahwa dia adalah seorang kastrato yang berdandan seperti seorang wanita -, wacana diperpanjang dengan penundaan-penundaan jawaban, seperti dia adalah seorang wanita (jawaban yang berupa jebakan), makhluk dari luar alam (jawaban yang penuh ambiguitas), atau tak seorang pun tahu (jawaban yang macet).

Kode semik menyangkut konotasi-konotasi yang sering dimunculkan dalam pelukisan watak (penokohan) dan deskripsi. Mengenai sem, kita hanya menunjukkan, tanpa mencoba, baik menghubungkannya dengan seorang tokoh (atau sebuah tempat atau sebuah objek), maupun menyusunnya dalam sebuah urutan sehingga membentuk sebuah kelompok tematik tunggal. Kita membiarkan sem-sem itu dalam ketidakstabilan, dalam penyebaran, dalam karakteristik “motes of dust” (?), ataupun dalam kerdipan-kerdipan makna. Kata Sarrasine juga mengandung konotasi tambahan, femininitas, yang akan tampak jelas bagi orang yang berbahasa ibu bahasa Prancis. Bahasa Prancis akan secara otomatis memberi akhiran e sebagai penanda linguistik khusus yang bersifat perempuan, khususnya dalam hal nama diri yang mempunyai bentuk maskulin (Sarrazin) yang ada dalam onomastik-onomastik Prancis. Femininitas yang dikonotasikan ini merupakan penanda yang akan muncul di beberapa tempat di dalam teks. Femininitas merupakan unsur yang berpindah-pindah yang dapat dikombinasikan dengan unsur-unsur lain yang hampir sama untuk menciptakan tokoh-tokoh, ambiansi (?), bentuk-bentuk, dan simbol-simbol. Sebuah cerita awal tentang La Zambinella, misalnya, mencetuskan sem-sem femininitas, kekayaan dan kepucatan (seperti hantu).

Kode simbolik menyangkut polaritas dan antitesis yang membuahkan multivalensi dan reversibilitas. Tugas utama kode ini adalah selalu menunjukkan bahwa bidang ini dapat dimasuki dari berbagai sudut sehingga membuat persoalan menjadi mendalam dan bersifat rahasia. Kode ini menandai pola-pola hubungan seksual dan psikoanalitis orang-orang yang mungkin masuk. Sebagai contoh, Sarrasine dihadirkan dalam hubungan simbolik antara bapak dan anak. Sarrasine adalah anak seorang ahli hukum. Ketidakhadiran ibu dalam cerita ini sangatlah penting. Ketika si anak (Sarrasine) memutuskan untuk menjadi seniman, dia tidak lagi disayangi ayahnya, bahkan dikutuk. Dari sini tampak adanya simbolik antitesis. Pengkodean simbolik naratif ini kemudian berkembang ketika kita membaca kisah si pemahat ramah, Bouchardon, yang menempati posisi ibu yang tidak ada sehingga membuahkan kerukunan antara bapak dan anak.

Kode proairetik atau kode tindakan-tidakan menyangkut tindakan dan perilaku dasar logis yang bertahap. Tindakan-tindakan ini dapat dimasukkan dalam beragam urutan yang hanya dapat ditunjukkan dengan cara menyusunnya karena rangkaian proairetik tidak pernah lebih dari hasil kecerdasan membaca: siapa pun yang membaca teks menghimpun sejumlah data di bawah beberapa judul tindakan yang umum, dan judul ini mewujudkan rangkaian itu. Rangkaian itu ada ketika diberi nama dan karena dapat diberi nama. Rangkaian itu terbentang ketika proses penamaan berlangsung, ketika sebuah judul dicari atau ditetapkan. Oleh karena itu, dasarnya lebih empiris daripada rasional, dan tidak ada gunanya berusaha memaksanya menjadi susunan yang beraturan. Mengindikasi-kan rangkaian tersebut secara eksternal dan internal akan cukup untuk memperlihatkan beragam makna yang ada di dalamnya. Roland Barthes memberi tanda pada serangkaian lexia 95 sampai dengan 101: teman wanita si narator menyentuh kastrato tua dan bereaksi dengan mengeluarkan keringat dingin; ketika saudara-saudaranya bereaksi dengan alarm, dia menuju ke ruang sebelah dan melemparkan diri ke atas dipan dengan ketakutan. Barthes menandai rangkaian itu sebagai lima tingkatan kode tindakan “menyentuh”: (1) sentuhan, (2) reaksi, (3) reaksi umum, (4) melarikan diri, (5) bersembunyi. Tahap-tahap tersebut membentuk sebuah rangkaian yang membuat pembaca mengoperasikan kode itu secara tidak sadar, menganggapnya sebagai hal yang alami atau realistis.

Terakhir, kode kultural atau budaya adalah acuan-acuan terhadap ilmu pengetahuan tertentu atau kumpulan ilmu pengetahuan. Kode kultural ini juga sering disebut sebagai kode referensial. Untuk mendeskripsikan perhatian terhadap hal itu, Barthes hanya menunjukkan jenis ilmu pengetahuan yang diacu (fisik, psikologis, medis, fisiologis, sastra, sejarah, dan sebagainya) tanpa melangkah lebih jauh, misalnya menyusun kembali budaya yang diungkapkan.

Apa gunanya mencoba merekonstruksi sebuah kode kultural karena aturan-aturan yang mengaturnya tak pernah lebih dari sekadar sebuah kemungkinan? Dan lagi, tempat sebuah kode masa (waktu) belum membentuk sejenis bacaan ilmiah populer yang pada akhirnya akan sangat berguna untuk dideskripsikan, misalnya: apa yang kita ketahui “secara alami” tentang seni, tentang orang muda, dan sebagainya. Bila kita mengumpulkan semua ilmu pengetahuan dan semua vulgarisme semacam itu, kita akan menciptakan monster, dan monster itu adalah ideologi. Sebagai bagian dari ideologi, kode kultural membalikkan asal mula kelasnya (skolastik dan sosial) menjadi sebuah referensi alami, menjadi sebuah pernyataan peribahasa. Seperti bahasa didaktis dan bahasa politis, yang juga mempermasalahkan pengulangan pengucapan, peribahasa kultural mengganggu, membuat gusar pembaca yang tidak tahan. Teks Balzacian pun menjadi beku karena hal itu. Karena kode kulturalnya, teks itu membosankan, memuakkan.

Lexia 176 berbunyi: “For a long time, the lengthy and laborious studies demanded by sculpture” (‘Untuk waktu yang lama, pelajaran-pelajaran yang panjang lebar dan makan tenaga dituntut oleh seni pahat’). Menurut Barthes, lexia ini mengandung kode kultural, yaitu kode seni. Magang sebagai pemahat merupakan pekerjaan yang sulit. Memahat dikatakan bergulat dengan bahan, bukan dengan representasi, sama halnya dengan melukis. Memahat adalah seni demiturgis, seni yang menggali bukan yang menutupi, seni sang tangan yang memegang.

Lexia 178 berbunyi: “which was perhaps as predisposed to them as Michelangelo’s had been” (‘yang mungkin mempengaruhi mereka sebagaimana terjadi pada Michelangelo’). Oleh Barthes, lexia ini dikatakan mengandung kode kultural, sejarah seni, tipologi psikologis seniman besar. Jika Sarrasine itu seorang musisi dan Balzac dilahirkan 50 tahun kemudian, nama yang muncul tentunya Beethoven; sedangkan dalam sastra, mungkin nama Balzac sendiri yang muncul.

Ujaran-ujaran kode kultural merupakan peribahasa yang implisit. Ujaran-ujaran itu tertulis dalam model obligatif yang menguraikan kehendak umum, hukum suatu masyarakat, yang menyebabkan proposisi yang dihubungkan tidak dapat dihapus. Lebih jauh lagi: karena sebuah peribahasa, pepatah, dalil, yang mendukung kode kultural dapat ditemukan, transformasi gaya “membuktikan” kode itu, memperlihatkan strukturnya, mengungkapkan perspektif ideologisnya. Peribahasa mempunyai struktur sintaktis sangat khusus dan bentuk yang arkhais.
Sebagai ringkasan pengetahuan umum, kode kultural menyediakan silogisme dalam cerita dengan premis mayornya yang selalu didasarkan atas opini umum, pada sebuah kebenaran endoxal, pendeknya, pada wacana yang lain-lain. Sarrasine, yang masih tetap gigih melakukanpembuktian kepada dirinya sendiri tentang femininitas La Zambinella, akan mati karena sebuah alasan yang tidak akurat dan tidak meyakinkan: dari wacana lain, dari alasan-alasan yang berlebihan. Namun, sebuah cacat dalam wacana inilah yang membunuhnya: semua kude kultural yang diambil dari kutipan ke kutipan, bersama-sama membentuk sebuah versi miniatur pengetahuan ensiklopedik, sebuah farrago. Farrago ini membentuk realitas sehari-hari dalam hubungannya dengan subjek yang mengadaptasikan dirinya sendiri. Sebuah cacat dalam ensiklopedia ini, sebuah lubang dalam tenunan budaya, dapat mengakibatkan kematian. Akibat ketidaktahuannya terhadap kode adat istiadat Kepausan, Sarrasine mati dalam kesenjangan pengetahuan, karena kekosongan dalam wacana lain. Penting bahwa wacana ini akhirnya berhasil menggapai Sarrasine melalui suara seorang pegawai istana “realistik”, seorang juru bicara untuk pengetahuan vital yang mendasari “realitas” itu. Yang dengan kasar dikontraskan dengan konstruksi simbol yang kompleks, yang berhak memenangkannya, adalah kebenaran sosial, kode institusi-prinsip realitas.

Kode-kode kultural yang telah banyak dirujuk oleh teks Sarrasinean ini juga akan dimatikan atau sekurang-kurangnya akan beremigrasi ke teks-teks yang lain. Sebenarnya, kutipan-kutipan tersebut diramu dari tubuh pengetahuan, dari sebuah buku anonim yang pasti paling baik modelnya, yaitu Buku Pedoman Sekolah. Karena, di satu pihak, Buku yang terdahulu adalah buku ilmu pengetahuan mengenai observasi empiris dan buku kebijaksanaan, dan di pihak lain, bahan didaktik yang bergerak dalam teks pada umumnya berkorespondensi dengan seperangkat buku pegangan sebanyak tujuh atau delapan yang dapat dijangkau oleh seorang mahasiswa yang rajin dalam sistem pendidikan borjuis klasik, seperti: Sejarah Sastra (Byron, The Thousand and One Nights, Ann Radcliffe, Homer), Sejarah Seni (Michelangelo, Raphael, the Greek miracle), Sejarah Eropa (the age of Louis XV), Garis Besar Obat-obatan Praktis (penyakit, penyembuhan, usia lanjut, dst.), Risalah Psikologi (erotik, etnik, dst.), Etika (Kristen atau Stoika: tema-tema terjemahan dari bahasa Latin), Logika (untuk silogisme), Retorika, dan sebuah antologi pepatah dan peribahasa tentang kehidupan, kematian, penderitaan, cinta, wanita, pria, dan sebagainya. Meskipun seluruhnya berasal dari buku-buku, kode-kode kultural ini, melalui karakteristik ideologi borjuis yang berputar, yang mengubah budaya ke dalam alam, muncul memantapkan realitas, “Kehidupan”. Lalu, “Kehidupan” di dalam teks klasik menjadi suatu campuran opini umum yang menjemukan, menjadi suatu lapisan yang menutupi gagasan-gagasan yang diterima. Sebenarnya, di dalam kode-kode kultural ini, teks klasik telah ketinggalan zaman dalam karya Balzac, esensi yang di dalam karya Balzac yang tidak dapat ditulis kembali, dikonsentrasikan. Tentu saja, apa yang ketinggalan zaman bukanlah suatu kerusakan wujud ataupun ketidakmampuan pribadi pengarang untuk menjangkau kesempatan-kesempatan dalam karyanya supaya menjadi modern, tetapi lebih merupakan suatu kondisi Sastra Penuh yang fatal, yang dijemput ajalnya oleg bala tentara stereotip yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, suatu kritik terhadap referensi-referensi belum pernah dapat dipertahankan kecuali melalui tipu daya. Sebenarnya, kode budaya menempati posisi yang sama dengan kebodohan: bagaimana mungkin sebuah kode menjadi lebih unggul daripada yang lain tanpa dengan kasar menutup pluralitas kode.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kode kultural atau kode budaya dalam Sarrasine merupakan acuan-acuan terhadap ilmu pengetahuan tertentu yang berwujud nama seorang tokoh, peribahasa, pepatah, dalil, dan sebagainya. Dalam uraiannya tentang kode kultural ini Roland Barthes hanya menunjukkan jenis ilmu pengetahuan yang diacu (misalnya: fisik, psikologis, medis, fisiologis, sastra, sejarah, dan sebagainya) tanpa melangkah lebih jauh, misalnya menyusun kembali budaya yang diungkapkan.

Ilmu pengetahuan yang dirujuk dalam kode kultural ini adalah buku pegangan sebanyak tujuh atau delapan yang biasanya dapat dijangkau oleh seorang mahasiswa, yaitu: Sejarah Sastra, Sejarah Seni, Sejarah Eropa, Garis Besar Obat-obatan Praktis, Etika, Logika, Retorika, serta antologi pepatah dan peribahasa tentang kehidupan, kematian, penderitaan, cinta, wanita, pria, dan sebagainya.

Mrican, 15 Januari 1999

6 komentar:

wahyu nurdiyanto mengatakan...

Not a play! Not a play!"
"Yes. Not a play. Bukan main."[tulisannya]

Saya dulu skiripsi pake si Barthes juga, tapi ya ga mudeng...untung wae lulus...

salam, kenal...
But please don't think that not not (Jangan berpikir yang bukan-bukan).

simbok mengatakan...

Salam kenal juga ... Makasih atas kunjungannya. Semoga tidak bosan berkunjung ...

Anonim mengatakan...

halo.
siapa tau tau, karena aq gak punya buku s/z nya, yang dimaksud barthes dengan kode budaya apa kira-kira sama dengan yang saussure maksud dengan parole? kode budaya yang bisa dipakai dalam satu teks kan bisa berjuta kemungkinan? trus kalau kita nganalisis teks tertentu, apa kita bikin dulu indikator-indikator kode budayanya, lalu pakai itu untuk baca teks, atau baca dulu teksnya, lalu nunjuk

Anonim mengatakan...

hal-hal yang kita anggap sebagai kode budaya? (kedengerannya agak nggak ilmiah ya..) nah, gimana ya, supaya tetap bisa ilmiah?
karena aku sedang nganalisis film dengan analisis wacana sara mills, dia pake salah satunya kode budayanya barthes untuk penentuan posisi pembaca. penjelasan ttg kode budaya ini minim sekali. so, siapa tau tau. thx a lot.

simbok mengatakan...

Anonim yth ...
Tunggu ya ... aku cari dulu jawabannya. Semoga masih bersabar ...

Anonim mengatakan...

Yes exactly, in some moments I can bruit about that I jibe consent to with you, but you may be making allowance for other options.
to the article there is quiet a suspect as you did in the decrease publication of this request www.google.com/ie?as_q=avast 4 antivirus protection server edition 4.7 ?
I noticed the catch-phrase you suffer with not used. Or you use the pitch-dark methods of inspiriting of the resource. I have a week and do necheg