Photobucket

Senin, 05 November 2007

KEINDAHAN MATEMATIK DAN LOGIK (Dua Versi Syair Perahu)

Dalam kesusastraan Melayu “perahu” sering digunakan untuk melukiskan hal-hal yang berhubungan dengan Sufi. Penyair sering membandingkan atau mempersamakan bagian-bagian perahu dengan pengertian-pengertian Sufi yang dilambangkannya. Perbandingan-perbandingan tersebut berlan-daskan pada hal-hal sebagai berikut.
  1. Keserupaan bentuk, misalnya: sengkar perahu diperbandingkan dengan persatuan huruf alif-lam; pasak dengan bintang; penimba dengan matahari dan bulan, dst.
  2. Keserupaan tindakan, misalnya: sauh yang diturunkan ke dalam laut seolah-olah merupakan tindakan pembersihan diri sehingga disebut tarikat ikhlas (‘jalan pembersihan’); perahu tidak dapat berlayar tanpa layar sehingga layar sering disebut la tataharraku yang merupakan kata-kata permulaan sebuah hadis yang terkenal di kalangan Sufi.
  3. Hubungan dengan cerita tertentu, misalnya: cerita bahwa Roh Ilahi terbit bagaikan titik api ketika malaikat-malaikat menyesah batu dengan rantai, sehingga rantai sauh perahu disebut sebagai Ruh al-Kudus.

Adapun Syair Perahu dikatakan mengandung keindahan matematik dan logik karena jika jumlah bait pada setiap bagian syair dicatat satu demi satu, akan terwujud sebuah komposisi syair yang mengandung beberapa keistimewaan sehubungan dengan Sufi. Komposisi tersebut adalah sebagai berikut.


6+2+2+2+2+2+2+3+3+3+4+4+4+6+6+[3]+6+3+3+3+3+3+3+3+6+6 =
6+/ 6(2)+3(3)+3(4)+6 // 2(6)+[3]+3(3)+4(3)+6 /+6
(tanazzul) (tarakki)


Jika bingkai syair (bagian permulaan dan penutup) yang masing-masing terdiri atas enam bait dan interpolasi [3] dikesampingkan, lalu pada akhir bagian yang membicarakan doktrin “martabat tujuh” diberi tanda pemisah (//), maka paruh pertama dan paruh kedua syair itu tampak simetris. Kedua-duanya terdiri atas 39 bait yang rangkaian bagian-bagiannya disusun secara simetris dan jumlah baitnya pun sama, yaitu: 6(2)+3(3)+3(4) = 12+9+12 dan 2(6)+3(3)+4(3) = 12+9+12. Baik paruh pertama maupun paruh kedua diakhiri dengan bagian yang terdiri atas 6 bait.

Paruh pertama terutama berpusat pada deskripsi tentang “perjalanan turun” atau proses penciptaan (tanazzul), sedangkan paruh kedua lebih menguraikan “perjalanan naik” (tarakki). Sufi yang menempuh “jalan naik” ini melalui martabat-martabat Wujud secara terbalik. Mungkin karena alasan inilah susunan angka yang menunjukkan jumlah bait dan bagian-bagian pada paruh kedua merupakan kebalikan dari paruh pertama. Jumlah bait yang bertambah dengan tetap pada paruh pertama (2-3-4) kiranya dimaksudkan untuk melukiskan ide tentang bertambahnya sifat jamak atau pluralitas sepanjang “perjalanan turun” dari satu martabat Wujud ke martabat yang lain.

Komposisi syair tersebut berlandaskan pada angka 2,3,4, dan secara tidak langsung angka 7. Keempat angka tersebut mempunyai pelbagai makna mistik dalam ilmu tasawuf dan membentuk kerangka ajaran tentang “martabat tujuh” yang dibagi menjadi dua golongan. Golongan pertama mengandung tiga martabat, sedangkan golongan kedua mengandung empat martabat. Adapun angka 6 yang bioasanya berdampingan dengan angka 2 melambangkan beberapa pengertian sekaligus. Pertama, 6 merupakan simbol gerak Sufi dalam perjalanannya. Kedua, merupakan simbol gerak peredaran lengkap, baik dalam “perjalanan turun” maupun dalam “perjalanan naik”. Ketiga, merupakan simbol pencapaian Wahdat, martabat ke-6 dan batas terjauh yang dapat dijangkau oleh perahu yang membawa si salik.

Dari uraian panjang lebar yang mengandung angka-angka tersebut dapatlah dimaklumi mengapa Syair Perahu dikatakan mengandung keindahan matematik dan logik.

Tidak ada komentar: